Sama kamu aku sakit, nggak sama kamu aku lebih sakit
Raja tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam di dalam kamar ini. Apa yang Ratu lakukan sampai bisa membuat isi dalam kamar bak putri kerajaan itu luluh lantak seperti habis terkena bencana besar? Banyak serpihan kaca berserakan di atas lantai kamar itu. Saat ini dua orang asisten rumah tangga Ratu sedang bekerja membersihkan sisa kekacauan tersebut.
Bola mata Raja berpendar mengitari isi kamar itu hingga berhenti pada sebuah gulungan selimut tebal di atas kasur.
Itu Ratu yang tidur digulung dengan selimut tebal. Perempuan itu pernah berkata seperti ini... kamu tau nggak kenapa aku suka tidurnya digulung selimut kayak gini? Karena cuma dengan cara seperti ini aku ngerasa dipeluk sama seseorang. Rasanya hangat, aku suka banget. Aku nggak ngerasa sendirian lagi. Boboku kayak lagi ditemenin dan rasanya nggak dingin lagi. Aku suka dipeluk. Tapi nggak semua orang bisa ngelakuin hal itu sama aku. Termasuk kamu. Kamu nggak pernah meluk aku kalo aku nggak minta.
Kedua mata Raja reflek terpejam saat mengingat pembicaraan mereka beberapa tahun yang lalu. Hari di mana Raja menemui Ratu di salah satu apartemen malam itu, malam di mana Ratu menghilang dan hampir setengah malam Raja mencarinya mengelilingi ibukota Jakarta.
Raja menarik nafas berat sambil berjalan mendekati ranjang Ratu yang berantakan, menjatuhkan ranselnya begitu saja di atas lantai. Pelan-pelan menduduki pinggiran kasur dan melihat Ratu yang masih terlelap dengan pandangan sendunya.
Aku minta maaf, Ratu.
Rindu berat. Selama dua bulan dia tidak sekali pun melihat wajah itu. Hati yang kosong itu masih tetap sama, tidak berisi, malah semakin terasa kosong seiring hilangnya Ratu. Berharap Raja menemukan jawaban yang ia cari dengan cara berpisah dengan Ratu.
Tapi ternyata nihil. Raja sama sekali tidak menemukan jawaban itu. Sejatinya perjalanan Raja sudah menemukan tujuannya. Sejauh apapun dia mencoba untuk berlari pergi. Sekeras apapun dia menyangkal perasaannya. Tetap hanya ada satu nama dan watu paras yang terus menghantui pikiran. Pandangannya hanya buta sesaat tertutupi debu sampai membuat Raja kesulitan untuk menempuh perjalanannya.
Saat ini pandangannya sudah kembali normal. Debu yang menghalangi pandangan mulai terbawa oleh angin. Dia kembali dapat melihat jalan itu, tujuan terakhirnya.
“Mas?”
Suara lembut itu terdengar di telinga sesaat Raja mengusap wajahnya kasar. Kepalanya yang tertunduk pun pelan-pelan terangkat kala mendengar suara itu.
“Udah bangun,hm?” Dia bertanya sambil tangannya bergerak mengusap surai hitamnya dengan lembut.
Ratu tidak menjawab dan malah melontarkan pertanyaan. “Ngapain kesini?”
Dengan senyuman khas, Raja menjawab, “Ketemu kamu.”
Kepala itu mengangguk kecil. Lalu kembali berkata, “Jangan disitu, banyak kacanya. Nanti kamu luka.”
“Udah aku beresin.” Raja bohong. Padahal bukan dia yang membereskan.
Ratu menganggukkan kepala lagi dengan kedua mata sembab.
“Aku mau bobo lagi,” katanya menyamankan posisi kembali. Merapatkan selimut yang menggulung tubuhnya. Pelan-pelan memejamkan kedua matanya lagi. Disaksikan Raja dengan senyum terbalut rasa khawatir yang tak pernah pudar.
“Nanti mas keluar.”
“Jangan pergi. Aku kangen, tapi masih marah sama kamu.”
Ribuan pertanyaan mulai bermunculan di kepala Raja. Apa yang terjadi pada Ratu juga merupakan tanggungjawabnya.
Raja merasakan tangan Ratu keluar dari selimut untuk mengambil tangannya. Menggenggam erat tangan itu, membawa ke atas pipinya dan digosok lembut di sana. Tanpa mengeluarkan suara kembali, Ratu pun kembali tertidur. Entah mengapa dia benar-benar merasa lelah dan ingin sekali memiliki waktu tidur yang lama untuk menghilangkan rasa sakit dihati dan semua rasa yang membuatnya lelah.
Bohong jika Ratu tidak merindukan Raja. Sekejam apapun pria itu melukai hatinya. Tetap saja jiwa dan raga ini akan kembali pada tujuan yang sama dan tempat yang sama.
__
“Dek, apa kabar?”
Raja memulai percakapan diantara mereka saat suasana semakin terasa sunyi setelah hampir lima menit mereka berdua memilih untuk duduk di pinggir kolam di belakang kediaman mewah itu. Duduk berdampingan hanya berjarak beberapa senti saja, dengan kedua kaki mereka yang terendam di dalam kolam itu.
“Dek, gimana?”
“Em... much better.”
“Mas, seneng dengarnya.”
“Dan kamu, mas?”
Ratu memalingkan wajah ke samping setelah hampir bermenit-menit menatap ke arah birunya kolam. Menatap Raja yang juga menoleh padanya.
“Sudah kamu temuin jawaban yang kamu cari?”
Damn! Pertanyaan itu adalah salah satu dari ratusan pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin Raja dengarkan keluar dari mulut Ratu.
“Dek...”
“Hati kamu masih terasa hampa?”
“Maafin, mas.” Dia berucap lirih.
Ratu tersenyum miris memandang pantulan dirinya di air kolam.
“Sampai hari ini, bahkan sampai detik ini. Pernah nggak sekali aja kamu benar-benar menginginkan aku di hidup kamu, Raja? Apa mungkin hanya aku yang banyak menaruh harapan besar sama kamu?”
“Ratu, aku sadar udah membuat kesalahan besar sama kamu. Aku menyesal menjadi bodoh pada saat itu. Aku—”
“Raja, kalo kamu berniat buat ninggalin aku. Kenapa dulu kamu datang ke aku, ngulurin tangan kamu buat narik aku dan ngasih aku harapan sebesar ini?” Suara Ratu agak bergetar, terkesan menahan sesuatu. “Aku pikir kamu bakalan jadi rumahku. Tapi nyatanya kamu nggak lebih dari tempat persinggahan buat aku.”
“Ratu...”
“Sebentar, dengerin aku. Aku mau ngomong.”
Hatinya kembali sesak. Pelupuk mata Ratu mulai terasa panas dan basah. Liquid bening itu kembali mengalir jatuh membasahi pipinya. Disaksikan oleh Raja yang ikut merasakan sakitnya Ratu.
“Kayaknya selama ini kehadiranku nggak ada artinya buat kamu ya, mas?”
“Kamu berarti buat aku, Ratu!”
“Bohong. Kalo aku berarti buat kamu, nggak mungkin kamu minta waktu untuk meyakinkan perasaan yang kamu punya. Kamu ragu.”
“Aku salah pernah mengatakan kalimat itu.”
“Aku sayang kamu, Raja. Tapi kayaknya aku cuma sayang sendirian di sini.”
“Kamu salah, Ratu. Kamu nggak sendirian ngerasain perasaan itu.”
“Ja, Aku Ratu dan nggak akan pernah jadi Jihan. Begitupun sebaliknya. Jihan nggak akan pernah menjadi Ratu. Sampai kapanpun kamu nggak akan pernah menemukan jiwa yang sama di dalam raga yang berbeda. I know it...“
Raja merasa tercekik dengan kalimat itu. Susah payah ia meneguk salivanya yang tercekat di tenggorokan. Lidahnya terasa kelu begitu saja setelah mendengar kalimat yang diucapkan Ratu.
Raja bodoh karena pernah berpikir akan menemukan jiwa Ratu di dalam raga yang lain.
“Kamu suka Jihan?”
“Tidak sama sekali.”
“Kalau gitu cukup buat aku sakit hati, Raja. Aku sakit sampai hari ini. Tapi aku bakal semakin sakit kalo kamu nggak ada di sini. Aku cuma punya kamu yang masih memiliki kehangatan buat aku. Satu hal yang bahkan nggak pernah aku temuin di keluargaku sendiri. Aku harus kemana lagi kalo rumah yang aku harapkan sama hancurnya dengan rumah yang aku miliki sebelumnya?”
Mendengar pembicaraan itu membuat Kaisar, Dewi dan Satria seketika bungkam. Sakit seperti dilempar bola batu besar dan menimpa kepala mereka.
Ratu menyingkap lengan baju yang menutup pergelangan tangannya. Memperlihatkan banyaknya luka sayatan yang menggores kulit mulus itu membuat Raja tercenung merasakan perih di dadanya manakala sepasang bola matanya melihat luka sayatan di sekujur pergelangan tangan Ratu.
“Nggak ada satu pun dari luka ini yang menyakitkan aku. Tapi kalimat yang kamu ucapkan beberapa bulan lalu itu sukses bikin aku pengen motong nadiku sendiri, Ja.”
Tanpa sadar Raja meneteskan air mata. Raja tidak lagi sanggup untuk menahan diri. seketika itu juga ia menarik Ratu ke dalam pelukannya. Melingkarkan lengan besar itu pada tubuh yang lebih kecil dan terlihat sangat rapuh. Hampir saja Raja kehilangan Ratu. Ribuan kata maaf pun tidak akan bisa lagi diucapkan jika saja hal mengerikan yang terlintas di dalam pikirannya terjadi. Mungkin hari ini Raja tidak akan bisa memeluk Ratu seperti ini.
Maaf...
Maaf...
Hanya kata itu yang mampu Raja ucapkan saat ini.
Terima kasih Ratu untuk tetap bertahan sampai hari ini!
Ratu mengeratkan pelukannya di tubuh Raja. Sontak memejamkan mata saat merasakan kehangatan yang berpindah dari tubuh yang lebih besar ke tubuhnya yang kecil dan masih terasa dingin.
“Dek, ini terakhir kalinya. Tolong jangan lakuin hal kayak gini lagi.”