bundabunny

Raja tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam di dalam kamar ini. Apa yang Ratu lakukan sampai bisa membuat isi dalam kamar bak putri kerajaan itu luluh lantak seperti habis terkena bencana besar? Banyak serpihan kaca berserakan di atas lantai kamar itu. Saat ini dua orang asisten rumah tangga Ratu sedang bekerja membersihkan sisa kekacauan tersebut.

Bola mata Raja berpendar mengitari isi kamar itu hingga berhenti pada sebuah gulungan selimut tebal di atas kasur.

Itu Ratu yang tidur digulung dengan selimut tebal. Perempuan itu pernah berkata seperti ini... kamu tau nggak kenapa aku suka tidurnya digulung selimut kayak gini? Karena cuma dengan cara seperti ini aku ngerasa dipeluk sama seseorang. Rasanya hangat, aku suka banget. Aku nggak ngerasa sendirian lagi. Boboku kayak lagi ditemenin dan rasanya nggak dingin lagi. Aku suka dipeluk. Tapi nggak semua orang bisa ngelakuin hal itu sama aku. Termasuk kamu. Kamu nggak pernah meluk aku kalo aku nggak minta.

Kedua mata Raja reflek terpejam saat mengingat pembicaraan mereka beberapa tahun yang lalu. Hari di mana Raja menemui Ratu di salah satu apartemen malam itu, malam di mana Ratu menghilang dan hampir setengah malam Raja mencarinya mengelilingi ibukota Jakarta.

Raja menarik nafas berat sambil berjalan mendekati ranjang Ratu yang berantakan, menjatuhkan ranselnya begitu saja di atas lantai. Pelan-pelan menduduki pinggiran kasur dan melihat Ratu yang masih terlelap dengan pandangan sendunya.

Aku minta maaf, Ratu.

Rindu berat. Selama dua bulan dia tidak sekali pun melihat wajah itu. Hati yang kosong itu masih tetap sama, tidak berisi, malah semakin terasa kosong seiring hilangnya Ratu. Berharap Raja menemukan jawaban yang ia cari dengan cara berpisah dengan Ratu.

Tapi ternyata nihil. Raja sama sekali tidak menemukan jawaban itu. Sejatinya perjalanan Raja sudah menemukan tujuannya. Sejauh apapun dia mencoba untuk berlari pergi. Sekeras apapun dia menyangkal perasaannya. Tetap hanya ada satu nama dan watu paras yang terus menghantui pikiran. Pandangannya hanya buta sesaat tertutupi debu sampai membuat Raja kesulitan untuk menempuh perjalanannya.

Saat ini pandangannya sudah kembali normal. Debu yang menghalangi pandangan mulai terbawa oleh angin. Dia kembali dapat melihat jalan itu, tujuan terakhirnya.

“Mas?”

Suara lembut itu terdengar di telinga sesaat Raja mengusap wajahnya kasar. Kepalanya yang tertunduk pun pelan-pelan terangkat kala mendengar suara itu.

“Udah bangun,hm?” Dia bertanya sambil tangannya bergerak mengusap surai hitamnya dengan lembut.

Ratu tidak menjawab dan malah melontarkan pertanyaan. “Ngapain kesini?”

Dengan senyuman khas, Raja menjawab, “Ketemu kamu.”

Kepala itu mengangguk kecil. Lalu kembali berkata, “Jangan disitu, banyak kacanya. Nanti kamu luka.”

“Udah aku beresin.” Raja bohong. Padahal bukan dia yang membereskan.

Ratu menganggukkan kepala lagi dengan kedua mata sembab.

“Aku mau bobo lagi,” katanya menyamankan posisi kembali. Merapatkan selimut yang menggulung tubuhnya. Pelan-pelan memejamkan kedua matanya lagi. Disaksikan Raja dengan senyum terbalut rasa khawatir yang tak pernah pudar.

“Nanti mas keluar.”

“Jangan pergi. Aku kangen, tapi masih marah sama kamu.”

Ribuan pertanyaan mulai bermunculan di kepala Raja. Apa yang terjadi pada Ratu juga merupakan tanggungjawabnya.

Raja merasakan tangan Ratu keluar dari selimut untuk mengambil tangannya. Menggenggam erat tangan itu, membawa ke atas pipinya dan digosok lembut di sana. Tanpa mengeluarkan suara kembali, Ratu pun kembali tertidur. Entah mengapa dia benar-benar merasa lelah dan ingin sekali memiliki waktu tidur yang lama untuk menghilangkan rasa sakit dihati dan semua rasa yang membuatnya lelah.

Bohong jika Ratu tidak merindukan Raja. Sekejam apapun pria itu melukai hatinya. Tetap saja jiwa dan raga ini akan kembali pada tujuan yang sama dan tempat yang sama.

__

“Dek, apa kabar?”

Raja memulai percakapan diantara mereka saat suasana semakin terasa sunyi setelah hampir lima menit mereka berdua memilih untuk duduk di pinggir kolam di belakang kediaman mewah itu. Duduk berdampingan hanya berjarak beberapa senti saja, dengan kedua kaki mereka yang terendam di dalam kolam itu.

“Dek, gimana?”

“Em... much better.”

“Mas, seneng dengarnya.”

“Dan kamu, mas?”

Ratu memalingkan wajah ke samping setelah hampir bermenit-menit menatap ke arah birunya kolam. Menatap Raja yang juga menoleh padanya.

“Sudah kamu temuin jawaban yang kamu cari?”

Damn! Pertanyaan itu adalah salah satu dari ratusan pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin Raja dengarkan keluar dari mulut Ratu.

“Dek...”

“Hati kamu masih terasa hampa?”

“Maafin, mas.” Dia berucap lirih.

Ratu tersenyum miris memandang pantulan dirinya di air kolam.

“Sampai hari ini, bahkan sampai detik ini. Pernah nggak sekali aja kamu benar-benar menginginkan aku di hidup kamu, Raja? Apa mungkin hanya aku yang banyak menaruh harapan besar sama kamu?”

“Ratu, aku sadar udah membuat kesalahan besar sama kamu. Aku menyesal menjadi bodoh pada saat itu. Aku—”

“Raja, kalo kamu berniat buat ninggalin aku. Kenapa dulu kamu datang ke aku, ngulurin tangan kamu buat narik aku dan ngasih aku harapan sebesar ini?” Suara Ratu agak bergetar, terkesan menahan sesuatu. “Aku pikir kamu bakalan jadi rumahku. Tapi nyatanya kamu nggak lebih dari tempat persinggahan buat aku.”

“Ratu...”

“Sebentar, dengerin aku. Aku mau ngomong.”

Hatinya kembali sesak. Pelupuk mata Ratu mulai terasa panas dan basah. Liquid bening itu kembali mengalir jatuh membasahi pipinya. Disaksikan oleh Raja yang ikut merasakan sakitnya Ratu.

“Kayaknya selama ini kehadiranku nggak ada artinya buat kamu ya, mas?”

“Kamu berarti buat aku, Ratu!”

“Bohong. Kalo aku berarti buat kamu, nggak mungkin kamu minta waktu untuk meyakinkan perasaan yang kamu punya. Kamu ragu.”

“Aku salah pernah mengatakan kalimat itu.”

“Aku sayang kamu, Raja. Tapi kayaknya aku cuma sayang sendirian di sini.”

“Kamu salah, Ratu. Kamu nggak sendirian ngerasain perasaan itu.”

“Ja, Aku Ratu dan nggak akan pernah jadi Jihan. Begitupun sebaliknya. Jihan nggak akan pernah menjadi Ratu. Sampai kapanpun kamu nggak akan pernah menemukan jiwa yang sama di dalam raga yang berbeda. I know it...

Raja merasa tercekik dengan kalimat itu. Susah payah ia meneguk salivanya yang tercekat di tenggorokan. Lidahnya terasa kelu begitu saja setelah mendengar kalimat yang diucapkan Ratu.

Raja bodoh karena pernah berpikir akan menemukan jiwa Ratu di dalam raga yang lain.

“Kamu suka Jihan?”

“Tidak sama sekali.”

“Kalau gitu cukup buat aku sakit hati, Raja. Aku sakit sampai hari ini. Tapi aku bakal semakin sakit kalo kamu nggak ada di sini. Aku cuma punya kamu yang masih memiliki kehangatan buat aku. Satu hal yang bahkan nggak pernah aku temuin di keluargaku sendiri. Aku harus kemana lagi kalo rumah yang aku harapkan sama hancurnya dengan rumah yang aku miliki sebelumnya?”

Mendengar pembicaraan itu membuat Kaisar, Dewi dan Satria seketika bungkam. Sakit seperti dilempar bola batu besar dan menimpa kepala mereka.

Ratu menyingkap lengan baju yang menutup pergelangan tangannya. Memperlihatkan banyaknya luka sayatan yang menggores kulit mulus itu membuat Raja tercenung merasakan perih di dadanya manakala sepasang bola matanya melihat luka sayatan di sekujur pergelangan tangan Ratu.

“Nggak ada satu pun dari luka ini yang menyakitkan aku. Tapi kalimat yang kamu ucapkan beberapa bulan lalu itu sukses bikin aku pengen motong nadiku sendiri, Ja.”

Tanpa sadar Raja meneteskan air mata. Raja tidak lagi sanggup untuk menahan diri. seketika itu juga ia menarik Ratu ke dalam pelukannya. Melingkarkan lengan besar itu pada tubuh yang lebih kecil dan terlihat sangat rapuh. Hampir saja Raja kehilangan Ratu. Ribuan kata maaf pun tidak akan bisa lagi diucapkan jika saja hal mengerikan yang terlintas di dalam pikirannya terjadi. Mungkin hari ini Raja tidak akan bisa memeluk Ratu seperti ini.

Maaf...

Maaf...

Hanya kata itu yang mampu Raja ucapkan saat ini.

Terima kasih Ratu untuk tetap bertahan sampai hari ini!

Ratu mengeratkan pelukannya di tubuh Raja. Sontak memejamkan mata saat merasakan kehangatan yang berpindah dari tubuh yang lebih besar ke tubuhnya yang kecil dan masih terasa dingin.

“Dek, ini terakhir kalinya. Tolong jangan lakuin hal kayak gini lagi.”

Tidak peduli jika nanti pintu kayu bikinan pabrik di Jerman itu akan rusak karena didobrak terus menerus oleh Satria berulang kali. Di congkel beberapa kali oleh supir dan penjaga di rumah Kaisar beberapa kali dengan linggis. Pikiran mereka semua cuma satu saat ini. Pintu itu harus segera terbuka.

“Ratu… Ratu buka pintunya, nak. Ya allah… gimana ini,pi?”

“Ratu, ini papi. Buka dulu, kita ngomong. Ngobrol sama papi.”

Suara tangis dan teriakan sudah bercampur menjadi satu di dalam kamar Ratu. Bahkan lengan kanan Satria sudah hampir mati rasa karena harus ditabrakan ke pintu kayu tersebut.

“Ya allah, Pi. Satria cepat buka bisa nggak?”

Kali ini Dewi benar-benar takut akan terjadi sesuatu pada putrinya. Dua bulan ini ia sangat merasa bersalah pada putrinya. Selama ini dia selalu menyepelekan perasaan sang putri. Membandingkan dengan anak yang satunya. Hal yang terjadi pada Ratu saat ini juga merupakan kesalahannya. Hancur hati ketika sang putri terkena skandal beberapa tahun yang lalu. Rasanya dunia Dewi berantakan. Perannya sebagai orang tua semakin gagal saat itu. Dia marah dan kecewa, terlebih pada dirinya sendiri.

“Iya ini mau dibuka. Makanya mami diem dulu.” “Ya allah, ini pasti salah mami.”

“Dek, buka pintunya.” Satria berteriak dari luar. Peluh mulai membanjiri kepala sampai mengalir ke badannya. Mengalir cukup deras membuat punggungnya basah.

“Hancurin aja engselnya. Pak Yanto tolong hancurkan saja engselnya.”

“Baik, pak.”

Pak Yanto sudah bersiap mengambil ancang-ancang ingin melayangkan linggis ke arah engsel pintu tersebut. Namun beberapa detik sebelum itu terdengar bunyi kunci yang diputar. Setelah itu pintu kamar Ratu pun terbuka. Di balik pintu Ratu berdiri dengan tatapan kosong. Kelopak matanya yang sembab berkedip beberapa kali.

Betapa terkejutnya mereka saat melihat kondisi kamar Ratu yang hancur berantakan. Serpihan kaca berserakan hampir di seluruh lantai kamar.

Dia terdiam di posisinya sambil memandang satu persatu keluarganya yang memasang raut wajah cemas.

“Dek.”

Dia melangkah mundur saat ayahnya mencoba untuk masuk dan menjangkau lengannya. “Ratu haus. Pengen minum.”

Tanpa memerintah siapapun. Secepat kilat Satria turun ke lantai satu untuk mengambil segelas air mineral untuk sang adik. Tak sampai dua menit Satria sudah kembali ke lantai atas dengan membawa segelas air ditangannya.

“Minum dulu,” ujarnya sambil memberikan gelas itu ke tangan Ratu.

Ratu meminumnya sampai menyisakan air setengahnya di dalam gelas itu. Lalu memberikan kembali gelasnya pada sang ayah yang berdiri beberapa senti di sampingnya.

“Pada ngapain?” Tanyanya dengan suara lemah hampir tak terdengar.

“Papi, mami sama bang Satria mau ketemu dan ngobrol sama kamu. Kita semua kangen. Kita semua nunggu kamu pulang.”

“Mami setiap hari tungguin Ratu pulang,” timpal sang ibu mencoba ikut mendekat.

“Aku nggak terbiasa dengan keadaan kaya gini. Biasanya kalian semua sibuk. Sekarang kenapa pada ngumpul di sini?”

“Papi minta maaf ya, nak. Papi dan mami sudah banyak salahnya dengan Ratu.” “Ratu menyesal rasanya dilahirkan di dalam keluarga ini. Kenapa mami sampe biarin Ratu lahir?”

Kaisar dan Dewi langsung merasakan sakit sampai ke ulu hati kala mendengar kalimat memilukan yang baru saja terlontar dari mulut Ratu. Orang tua mana yang tidak terluka hatinya saat mendengar buah hati mereka mengatakan kalimat seperti itu.

Satria yang berdiri di belakang orang tuanya masih ikut terdiam membisu.

“Papi dan mami minta maaf.”

“Sebenarnya aku dianggap ada nggak sih di keluarga ini? Mi, Ratu punya salah apa sama mami? Kenapa mami selalu membedakan Ratu dengan Satria? Ratu anak pungut ya? Mami dan papi ambil di samping tong sampah?”

Ratu mundur lagi beberapa langkah. Tanpa melihat ke belakang, kakinya menginjak serpihan kaca dengan santainya tanpa merasakan sakit sama sekali.

“Jangan pada minta maaf terus. Nggak ada yang salah disini. Kesalahan cuma satu. Kehadiran aku di dalam keluarga ini. Itu kesalahannya.”

“Jangan bicara seperti itu, dek. Mami nggak pernah merasakan seperti yang kamu katakan itu.”

“Aku cuma pengen disayang-sayang. Diperhatiin, dipuji masakannya. Diapresiasi atas apa yang aku lakuin. Bukannya terus dimarahin atas kesalahan yang aku perbuat. Pernah nggak papi dan mami ngeliat nilai semesterku?”

Dewi dan Kaisar sama-sama terdiam.

Tenggorokan Ratu mulai terasa tercekat. “Pernah nggak papi dan mami nanyain kabarku atau sekedar nanyain aku udah makan atau belum?”

Kedua orang tua itu masih terdiam.

“Aku mati sendirian di apartemenku pun mungkin kalian nggak akan pernah tau. Karena memang aku tidak sepenting itu di hidup kalian.”

Satria yang semula hanya diam berdiri di belakang kedua orang tuanya pun berjalan maju, menggapai sang adik dan langsung memeluknya dengan erat. Tubuh yang lebih kecil darinya itu mencoba untuk memberontak, melepaskan diri. Akan tetapi dekapan hangat Satria sulit dilepaskan oleh Ratu yang tak lagi memiliki tenaga berlebih. Rasanya energi di dalam sudah terkuras habis saat ia menghancurkan isi kamarnya.

Ratu menangis. Satria juga, tapi tidak sekeras Ratu. Bukan hanya mereka. Kedua orang tua pun ikut merasakan kesedihan itu. Terutama sang ibu yang merasakan penyesalan.

Hati Satria sakit manakalanmelihat keadaan adiknya saat ini. Tidak ada yang tahu selain dirinya, termasuk kedua orang tua mereka jika selama dua bulan ini sang adik terus mendatangi seorang psikiater.

“Dek, gue mohon. Ini terakhir kalinya gue liat lo kayak gini.”

“Ratu capek. Nggak ada satu orang pun yang sayang sama aku. Bahkan kamu dan Raja sekalipun.”

Sementara itu di dalam kereta Raja terus mencoba menghubungi Ratu. Berulang kali matanya melihat ke arah jarum jam yang bergerak lambat dan kereta yang terasa melaju pelan.

Hatinya mulai bergemuruh untuk segera bertemu dengan Ratu. Rasa rindu dan khawatir, segalanya bercampur menjadi satu. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi nanti saat ia tiba di kediaman sang kekasih. Namun apapun itu, ia rela mendapat perlakuan apapun saat bertemu dengan Ratu. Dipukul, ditampar dan bahkan ditendang pun Raja akan rela. []

#Aku ini siapa?

Tidak peduli jika nanti pintu kayu bikinan pabrik di Jerman itu akan rusak karena didobrak terus menerus oleh Satria berulang kali. Di congkel beberapa kali oleh supir dan penjaga di rumah Kaisar beberapa kali dengan linggis. Pikiran mereka semua cuma satu saat ini. Pintu itu harus segera terbuka.

“Ratu… Ratu buka pintunya, nak. Ya allah… gimana ini,pi?”

“Ratu, ini papi. Buka dulu, kita ngomong. Ngobrol sama papi.”

Suara tangis dan teriakan sudah bercampur menjadi satu di dalam kamar Ratu. Bahkan lengan kanan Satria sudah hampir mati rasa karena harus ditabrakan ke pintu kayu tersebut.

“Ya allah, Pi. Satria cepat buka bisa nggak?”

Kali ini Dewi benar-benar takut akan terjadi sesuatu pada putrinya. Dua bulan ini ia sangat merasa bersalah pada putrinya. Selama ini dia selalu menyepelekan perasaan sang putri. Membandingkan dengan anak yang satunya. Hal yang terjadi pada Ratu saat ini juga merupakan kesalahannya. Hancur hati ketika sang putri terkena skandal beberapa tahun yang lalu. Rasanya dunia Dewi berantakan. Perannya sebagai orang tua semakin gagal saat itu. Dia marah dan kecewa, terlebih pada dirinya sendiri.

“Iya ini mau dibuka. Makanya mami diem dulu.” “Ya allah, ini pasti salah mami.”

“Dek, buka pintunya.” Satria berteriak dari luar. Peluh mulai membanjiri kepala sampai mengalir ke badannya. Mengalir cukup deras membuat punggungnya basah.

“Hancurin aja engselnya. Pak Yanto tolong hancurkan saja engselnya.”

“Baik, pak.”

Pak Yanto sudah bersiap mengambil ancang-ancang ingin melayangkan linggis ke arah engsel pintu tersebut. Namun beberapa detik sebelum itu terdengar bunyi kunci yang diputar. Setelah itu pintu kamar Ratu pun terbuka. Di balik pintu Ratu berdiri dengan tatapan kosong. Kelopak matanya yang sembab berkedip beberapa kali.

Betapa terkejutnya mereka saat melihat kondisi kamar Ratu yang hancur berantakan. Serpihan kaca berserakan hampir di seluruh lantai kamar.

Dia terdiam di posisinya sambil memandang satu persatu keluarganya yang memasang raut wajah cemas.

“Dek.”

Dia melangkah mundur saat ayahnya mencoba untuk masuk dan menjangkau lengannya. “Ratu haus. Pengen minum.”

Tanpa memerintah siapapun. Secepat kilat Satria turun ke lantai satu untuk mengambil segelas air mineral untuk sang adik. Tak sampai dua menit Satria sudah kembali ke lantai atas dengan membawa segelas air ditangannya.

“Minum dulu,” ujarnya sambil memberikan gelas itu ke tangan Ratu.

Ratu meminumnya sampai menyisakan air setengahnya di dalam gelas itu. Lalu memberikan kembali gelasnya pada sang ayah yang berdiri beberapa senti di sampingnya.

“Pada ngapain?” Tanyanya dengan suara lemah hampir tak terdengar.

“Papi, mami sama bang Satria mau ketemu dan ngobrol sama kamu. Kita semua kangen. Kita semua nunggu kamu pulang.”

“Mami setiap hari tungguin Ratu pulang,” timpal sang ibu mencoba ikut mendekat.

“Aku nggak terbiasa dengan keadaan kaya gini. Biasanya kalian semua sibuk. Sekarang kenapa pada ngumpul di sini?”

“Papi minta maaf ya, nak. Papi dan mami sudah banyak salahnya dengan Ratu.” “Ratu menyesal rasanya dilahirkan di dalam keluarga ini. Kenapa mami sampe biarin Ratu lahir?”

Kaisar dan Dewi langsung merasakan sakit sampai ke ulu hati kala mendengar kalimat memilukan yang baru saja terlontar dari mulut Ratu. Orang tua mana yang tidak terluka hatinya saat mendengar buah hati mereka mengatakan kalimat seperti itu.

Satria yang berdiri di belakang orang tuanya masih ikut terdiam membisu.

“Papi dan mami minta maaf.”

“Sebenarnya aku dianggap ada nggak sih di keluarga ini? Mi, Ratu punya salah apa sama mami? Kenapa mami selalu membedakan Ratu dengan Satria? Ratu anak pungut ya? Mami dan papi ambil di samping tong sampah?”

Ratu mundur lagi beberapa langkah. Tanpa melihat ke belakang, kakinya menginjak serpihan kaca dengan santainya tanpa merasakan sakit sama sekali.

“Jangan pada minta maaf terus. Nggak ada yang salah disini. Kesalahan cuma satu. Kehadiran aku di dalam keluarga ini. Itu kesalahannya.”

“Jangan bicara seperti itu, dek. Mami nggak pernah merasakan seperti yang kamu katakan itu.”

“Aku cuma pengen disayang-sayang. Diperhatiin, dipuji masakannya. Diapresiasi atas apa yang aku lakuin. Bukannya terus dimarahin atas kesalahan yang aku perbuat. Pernah nggak papi dan mami ngeliat nilai semesterku?”

Dewi dan Kaisar sama-sama terdiam.

Tenggorokan Ratu mulai terasa tercekat. “Pernah nggak papi dan mami nanyain kabarku atau sekedar nanyain aku udah makan atau belum?”

Kedua orang tua itu masih terdiam.

“Aku mati sendirian di apartemenku pun mungkin kalian nggak akan pernah tau. Karena memang aku tidak sepenting itu di hidup kalian.”

Satria yang semula hanya diam berdiri di belakang kedua orang tuanya pun berjalan maju, menggapai sang adik dan langsung memeluknya dengan erat. Tubuh yang lebih kecil darinya itu mencoba untuk memberontak, melepaskan diri. Akan tetapi dekapan hangat Satria sulit dilepaskan oleh Ratu yang tak lagi memiliki tenaga berlebih. Rasanya energi di dalam sudah terkuras habis saat ia menghancurkan isi kamarnya.

Ratu menangis. Satria juga, tapi tidak sekeras Ratu. Bukan hanya mereka. Kedua orang tua pun ikut merasakan kesedihan itu. Terutama sang ibu yang merasakan penyesalan.

Hati Satria sakit manakalanmelihat keadaan adiknya saat ini. Tidak ada yang tahu selain dirinya, termasuk kedua orang tua mereka jika selama dua bulan ini sang adik terus mendatangi seorang psikiater.

“Dek, gue mohon. Ini terakhir kalinya gue liat lo kayak gini.”

“Ratu capek. Nggak ada satu orang pun yang sayang sama aku. Bahkan kamu dan Raja sekalipun.”

Sementara itu di dalam kereta Raja terus mencoba menghubungi Ratu. Berulang kali matanya melihat ke arah jarum jam yang bergerak lambat dan kereta yang terasa melaju pelan.

Hatinya mulai bergemuruh untuk segera bertemu dengan Ratu. Rasa rindu dan khawatir, segalanya bercampur menjadi satu. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi nanti saat ia tiba di kediaman sang kekasih. Namun apapun itu, ia rela mendapat perlakuan apapun saat bertemu dengan Ratu. Dipukul, ditampar dan bahkan ditendang pun Raja akan rela. []

Satria tidak pernah menyukai segala jenis olahraga ringan selain salah satu olahraga yang dilakukan di atas ranjang. Akan sangat merugi baginya jika mengeluarkan keringat hanya dengan melakukan kegiatan fisik kecil-kecilan di dalam ruangan tanpa menguntungkannya dan membuatnya bahagia.

Namun kali ini prinsip itu tidak berlaku sama sekali. Sejak sepuluh menit yang lalu entah sudah berapa kali Satria melakukan push up di dalam kamar hotel Gadis selama perempuan itu berada di Jakarta, sebelum besoknya ia harus ke Bandung bertemu keluarganya.

Bunyi gemericik air yang jatuh dari dalam shower kamar mandi total membuat pikiran Satria buyar begitu saja. Pemikiran tentang segala hal yang berbau vulgar membuatnya kehilangan fokus pada game yang tadi ia mainkan kala menunggu sang kekasih menyelesaikan sesi mandinya.

Setelah makan malam bersama Ratu dan Raja tadi. Pasangan itu lebih memilih untuk kembali ke hotel Gadis lebih dulu, meninggalkan pasangan tergila yang mencoba fingering di tengah waktu romantis mereka saat double date.

Sialan! Satria tak sengaja menyaksikan kelakuan bejat calon adik iparnya saat mengambil sendoknya yang terjatuh di bawah meja. Aksi kotor itu terlihat jelas oleh kedua matanya, manaka tangan Raja menyelinap masuk ke sela kaki sang adik.

Hingga saat ini Satria terus merasakan efeknya. Terlebih lagi kini ia tengah menunggu Gadis yang sedang mandi, membayangkan tubuh semulus porselen milik cintanya itu berdiri dibawah guyuran air. Licin dan basah. Seksi sekali terbayang oleh otak kotor Satria.

“Oh, tuhan! Sadar Sat… sadar! Arrgh!” Dia frustasi disebabkan oleh pikirannya sendiri

Pemuda itu melompat-lompat kecil seperti tupai. Bahkan berlari-lari kecil di dalam kamar itu. Melakukan aktivitas yang mungkin bisa membuatnya melupakan pikiran bajingan yang melibatkan Gadis di dalamnya. Peluh mulai membasahi dahi. Rambut hitamnya yang agak berantakan sudah setengah basah. Satria lantas melepas blazer berwarna mocca yang tadi digunakan dan hanya tersisa kaos putih lengan pendek tipis dengan potongan kerah v. Memperlihatkan bidang dadanya yang lebar dan sudah pasti nyaman untuk bersandar kala tubuhnya pun mulai basah oleh keringat.

Kalo malam ini gue nggak bisa nahan lagi, semoga papi, ayah, dan kang prasetya bisa maafin gue!

Suara air tak lagi terdengar dari dalam kamar mandi. Bayangan Gadis terlihat mulai berjalan mendekati pintu kaca tersebut. Tak lama setelah itu pun yang ditunggu keluar dengan keadaan segar sehabis mandi. Masih menggunakan bathrobe putih milik hotel dan sehelai handuk yang menggulung rambut basahnya.

“Kamu nggak mandi, a?”

“A-aku harus mandi juga?” Tanyanya spontan di sela mengatur nafasnya yang tersengal sehabis berolahraga kecil.

“Kalo mau, ya nggak masalah. Lagian habis ngapain, sih? Kok keringetan banget kayaknya?”

Satria menjangkau botol air mineral di atas meja nakas. Membuka tutup botolnya, lalu meneguk air bening itu sampai tersisa setengah botol.

“Aku habis olahraga, neng.”

“Tumben banget.”

“Kalo nggak gitu aku bisa stres nungguin kamu.”

“Emang kenapa?”

Satria menggeleng. Lantas melempar tubuhnya berbaring terlentang di atas ranjang Gadis. Memejamkan matanya sejenak, masih mencoba untuk menjernihkan pikirannya.

“A…” Gadis memanggil.

“Hm?” Dia menjawab dengan deheman. Ia pikir Gadis hanya sekedar iseng memanggilnya, sehingga ia tidak berinisiatif untuk membuka matanya sama sekali. Ada rasanya sekitar dua menit suasana ruangan terasa sunyi. Gadis tidak bersuara sama sekali. Sampai akhirnya Satria mulai membuka kedua matanya ketika ia menerima beban berat menimpa tubuhnya. Aroma manis sabun dan shampoo langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Sepasang matanya membola kaget saat mendapati posisi Gadis yang berada di atasnya, menindih tubuhnya yang mendadak kaku begitu saja.

“Graduation present,” katanya lembut dan tersenyum simpul.

“Mana?” Tanya Satria spontan karena tak tahu harus mengeluarkan kata apalagi melihat posisinya dan Gadis saat ini.

Ternyata Satria akan dibuat gila oleh Gadis malam ini. Hadiah yang Satria tunggu nyatanya sudah ada dihadapannya kini. Gadis menarik simpul tali bathrobe yang melingkar di pinggangnya. Membuat Satria membeku kaget. Kemudian tanpa memberi jeda sedetikpun. Gadis langsung menyambar bibirnya. Mencium ranum tebal nan lembut itu dengan seduktif.

Satria membalas ciuman itu. Menarik tubuh Gadis semakin mendekat padanya. Ia melumat, menghisap bibir sang kekasih secara bergantian atas dan bawah. Sementara itu tangannya mulai bergerak, bergerilya di atas tubuh Gadis yang masih terbalut bathrobe. Tidak menggunakan apapun di dalamnya.

Bagaimana bisa tahu?

Sebab Satria dapat melihat belahan dada sintal Gadis yang mengintip di celah bagian tengah bathrobe yang hampir terbuka. Lalu perutnya yang masih tertutupi kaos tentu dengan mudah dapat merasakan bokong sintal itu mendudukinya tanpa celana dalam. Gadis malam ini adalah hadiah kelulusan luar biasa yang Satria dapatkan dari banyaknya hadiah yang ia terima.

Ciuman mesra. Bahkan saat ini Satria tengah menikmati lembutnya payudara sang kekasih yang tergantung bebas di atas wajahnya. Gadis memberikannya kebebasan malam ini. Bukan tanpa paksaan, namun ia juga sangat menginginkannya.

“A-a w-wait,” desahnya menghentikan mulut Satria yang menghisap putingnya seperti bayi.

“Sakit?”

“Nggak, enak kok. Tapi malam ini gantian.”

“Aku belum puas, neng.”

“Nanti, a.”

Gadis menegakkan tubuhnya. Duduk di atas perut keras Satria sambil melucuti bathrobe yang masih terpasang di bahu kembarnya. Secara jelas Satria melihat tubuh bagian atas Gadis yang membuatnya terpesona. Dengan bentuk yang bulat, padat, walaupun tidak terlalu besar. Namun daging sintal itu sangat pas di dalam genggamannya bersama puting coklat muda yang pas di mulutnya. Ingin sekali Satria abadikan keindahan ini melalui kamera ponselnya. Tapi kegiatan Gadis berikutnya langsung mengurungkan niat Satria.

Gadis itu duduk berlutut diantara kedua kaki Satria. Mencoba melucuti celana yang masih terpasang rapi di kedua tungkai panjangnya. Tanpa diberitahu pun Satria sudah dapat menebak. Sasaran utama Gadis adalah kejantanannya.

Persetan dengan bunyi ponsel yang terus berdering ribut. Saat ini Satria hanya mampu melenguh, mengerang dengan suara beratnya saat mulut hangat Gadis sibuk mengurut kejantanannya yang tegang. Menghisap dan menjilatinya seperti es krim. Satria tidak pernah tahu jika Gadis bisa melakukan hal kotor ini melebihi jalang. Kedua bolanya dimainkan, di remas dan diciumi tanpa rasa jijik. Satria seolah tengah melihat sisi yang sangat berbeda dari kekasihnya sendiri. Bagaimana saat kepala itu bergerak naik turun dan mulutnya menelan habis satu batang tebal Satria sampai membuatnya tersedak dan batuk.

“Aargh, neng!” Erang Satria meremas rambut Gadis dan menekan kepala wanita itu pada kejantannya.

Uhuk! Dia terbatuk dan langsung mengeluarkan milik Satria lagi dari dalam mulutnya. Basah dan licin. Tangan kanan Gadis menggenggamnya sambil dikocok-kocok pelan berulang kali.

“A, gede,” gumamnya lirih dengan penampilan mulut yang belepotan cairan yang bercampur dengan liur.

“Neng, kok bisa sih?” Tanyanya dengan nafas tersenggal.

“Em… di London. I saw it in a porn video.”

“Kamu nonton yang kayak gituan juga?”

Agak kaget, tapi ya tidak masalah.

“Beberapa kali, cause i'm curious.” Bola matanya berbinar lugu.

“Tapi yang kamu lakuin udah kayak profesional. Maksudku, kamu hebat puasin aku. Gila pokoknya. Mulutmu enak, neng.”

Satria memuji tanpa dibuat-buat.

“Tapi rasanya aneh.”

“Apanya yang terasa aneh?”

Sperm. Nggak sengaja ketelan.”

Sumpah lucunya. Wajah polos Gadis benar-benar lucu. Satria tak bisa menahan hasrat ini terlalu lama. Sakit, dan rasanya benar-benar ingin dipuaskan oleh Gadis malam ini juga.

Dengan satu tarikan keras Satria berhasil membawa Gadis kembali berbaring diatas kasur, berganti posisi dengannya setelah berhasil membuat Gadis dalam keadaan telanjang bulat. Pemandangan menggiurkan yang hampir membuat liur Satria menetes.

“A, mandi dulu.”

“Nanti, nggak sabar pengen colok. Pedro pengen berpetualangan di rawa-rawa kamu.”

“Bakal sakit nggak?”

“Aku mainnya bakal pelan-pelan. Kalo sakit cubit aja pantatku, neng.”

Gadis hampir saja terbahak jika saja Satria tidak kembali menciumnya. Kali ini lebih ganas daripada yang sebelumnya. []

#GRADUATION PRESENT

Satria tidak pernah menyukai segala jenis olahraga ringan selain salah satu olahraga yang dilakukan di atas ranjang. Akan sangat merugi baginya jika mengeluarkan keringat hanya dengan melakukan kegiatan fisik kecil-kecilan di dalam ruangan tanpa menguntungkannya dan membuatnya bahagia.

Namun kali ini prinsip itu tidak berlaku sama sekali. Sejak sepuluh menit yang lalu entah sudah berapa kali Satria melakukan push up di dalam kamar hotel Gadis selama perempuan itu berada di Jakarta, sebelum besoknya ia harus ke Bandung bertemu keluarganya.

Bunyi gemericik air yang jatuh dari dalam shower kamar mandi total membuat pikiran Satria buyar begitu saja. Pemikiran tentang segala hal yang berbau vulgar membuatnya kehilangan fokus pada game yang tadi ia mainkan kala menunggu sang kekasih menyelesaikan sesi mandinya.

Setelah makan malam bersama Ratu dan Raja tadi. Pasangan itu lebih memilih untuk kembali ke hotel Gadis lebih dulu, meninggalkan pasangan tergila yang mencoba fingering di tengah waktu romantis mereka saat double date.

Sialan! Satria tak sengaja menyaksikan kelakuan bejat calon adik iparnya saat mengambil sendoknya yang terjatuh di bawah meja. Aksi kotor itu terlihat jelas oleh kedua matanya, manaka tangan Raja menyelinap masuk ke sela kaki sang adik.

Hingga saat ini Satria terus merasakan efeknya. Terlebih lagi kini ia tengah menunggu Gadis yang sedang mandi, membayangkan tubuh semulus porselen milik cintanya itu berdiri dibawah guyuran air. Licin dan basah. Seksi sekali terbayang oleh otak kotor Satria.

“Oh, tuhan! Sadar Sat… sadar! Arrgh!” Dia frustasi disebabkan oleh pikirannya sendiri

Pemuda itu melompat-lompat kecil seperti tupai. Bahkan berlari-lari kecil di dalam kamar itu. Melakukan aktivitas yang mungkin bisa membuatnya melupakan pikiran bajingan yang melibatkan Gadis di dalamnya. Peluh mulai membasahi dahi. Rambut hitamnya yang agak berantakan sudah setengah basah. Satria lantas melepas blazer berwarna mocca yang tadi digunakan dan hanya tersisa kaos putih lengan pendek tipis dengan potongan kerah v. Memperlihatkan bidang dadanya yang lebar dan sudah pasti nyaman untuk bersandar kala tubuhnya pun mulai basah oleh keringat.

Kalo malam ini gue nggak bisa nahan lagi, semoga papi, ayah, dan kang prasetya bisa maafin gue!

Suara air tak lagi terdengar dari dalam kamar mandi. Bayangan Gadis terlihat mulai berjalan mendekati pintu kaca tersebut. Tak lama setelah itu pun yang ditunggu keluar dengan keadaan segar sehabis mandi. Masih menggunakan bathrobe putih milik hotel dan sehelai handuk yang menggulung rambut basahnya.

“Kamu nggak mandi, a?”

“A-aku harus mandi juga?” Tanyanya spontan di sela mengatur nafasnya yang tersengal sehabis berolahraga kecil.

“Kalo mau, ya nggak masalah. Lagian habis ngapain, sih? Kok keringetan banget kayaknya?”

Satria menjangkau botol air mineral di atas meja nakas. Membuka tutup botolnya, lalu meneguk air bening itu sampai tersisa setengah botol.

“Aku habis olahraga, neng.”

“Tumben banget.”

“Kalo nggak gitu aku bisa stres nungguin kamu.”

“Emang kenapa?”

Satria menggeleng. Lantas melempar tubuhnya berbaring terlentang di atas ranjang Gadis. Memejamkan matanya sejenak, masih mencoba untuk menjernihkan pikirannya.

“A…” Gadis memanggil.

“Hm?” Dia menjawab dengan deheman. Ia pikir Gadis hanya sekedar iseng memanggilnya, sehingga ia tidak berinisiatif untuk membuka matanya sama sekali. Ada rasanya sekitar dua menit suasana ruangan terasa sunyi. Gadis tidak bersuara sama sekali. Sampai akhirnya Satria mulai membuka kedua matanya ketika ia menerima beban berat menimpa tubuhnya. Aroma manis sabun dan shampoo langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Sepasang matanya membola kaget saat mendapati posisi Gadis yang berada di atasnya, menindih tubuhnya yang mendadak kaku begitu saja.

“Graduation present,” katanya lembut dan tersenyum simpul.

“Mana?” Tanya Satria spontan karena tak tahu harus mengeluarkan kata apalagi melihat posisinya dan Gadis saat ini.

Ternyata Satria akan dibuat gila oleh Gadis malam ini. Hadiah yang Satria tunggu nyatanya sudah ada dihadapannya kini. Gadis menarik simpul tali bathrobe yang melingkar di pinggangnya. Membuat Satria membeku kaget. Kemudian tanpa memberi jeda sedetikpun. Gadis langsung menyambar bibirnya. Mencium ranum tebal nan lembut itu dengan seduktif.

Satria membalas ciuman itu. Menarik tubuh Gadis semakin mendekat padanya. Ia melumat, menghisap bibir sang kekasih secara bergantian atas dan bawah. Sementara itu tangannya mulai bergerak, bergerilya di atas tubuh Gadis yang masih terbalut bathrobe. Tidak menggunakan apapun di dalamnya.

Bagaimana bisa tahu?

Sebab Satria dapat melihat belahan dada sintal Gadis yang mengintip di celah bagian tengah bathrobe yang hampir terbuka. Lalu perutnya yang masih tertutupi kaos tentu dengan mudah dapat merasakan bokong sintal itu mendudukinya tanpa celana dalam. Gadis malam ini adalah hadiah kelulusan luar biasa yang Satria dapatkan dari banyaknya hadiah yang ia terima.

Ciuman mesra. Bahkan saat ini Satria tengah menikmati lembutnya payudara sang kekasih yang tergantung bebas di atas wajahnya. Gadis memberikannya kebebasan malam ini. Bukan tanpa paksaan, namun ia juga sangat menginginkannya.

“A-a w-wait,” desahnya menghentikan mulut Satria yang menghisap putingnya seperti bayi.

“Sakit?”

“Nggak, enak kok. Tapi malam ini gantian.”

“Aku belum puas, neng.”

“Nanti, a.”

Gadis menegakkan tubuhnya. Duduk di atas perut keras Satria sambil melucuti bathrobe yang masih terpasang di bahu kembarnya. Secara jelas Satria melihat tubuh bagian atas Gadis yang membuatnya terpesona. Dengan bentuk yang bulat, padat, walaupun tidak terlalu besar. Namun daging sintal itu sangat pas di dalam genggamannya bersama puting coklat muda yang pas di mulutnya. Ingin sekali Satria abadikan keindahan ini melalui kamera ponselnya. Tapi kegiatan Gadis berikutnya langsung mengurungkan niat Satria.

Gadis itu duduk berlutut diantara kedua kaki Satria. Mencoba melucuti celana yang masih terpasang rapi di kedua tungkai panjangnya. Tanpa diberitahu pun Satria sudah dapat menebak. Sasaran utama Gadis adalah kejantanannya.

Persetan dengan bunyi ponsel yang terus berdering ribut. Saat ini Satria hanya mampu melenguh, mengerang dengan suara beratnya saat mulut hangat Gadis sibuk mengurut kejantanannya yang tegang. Menghisap dan menjilatinya seperti es krim. Satria tidak pernah tahu jika Gadis bisa melakukan hal kotor ini melebihi jalang. Kedua bolanya dimainkan, di remas dan diciumi tanpa rasa jijik. Satria seolah tengah melihat sisi yang sangat berbeda dari kekasihnya sendiri. Bagaimana saat kepala itu bergerak naik turun dan mulutnya menelan habis satu batang tebal Satria sampai membuatnya tersedak dan batuk.

“Aargh, neng!” Erang Satria meremas rambut Gadis dan menekan kepala wanita itu pada kejantannya.

Uhuk! Dia terbatuk dan langsung mengeluarkan milik Satria lagi dari dalam mulutnya. Basah dan licin. Tangan kanan Gadis menggenggamnya sambil dikocok-kocok pelan berulang kali.

“A, gede,” gumamnya lirih dengan penampilan mulut yang belepotan cairan yang bercampur dengan liur.

“Neng, kok bisa sih?” Tanyanya dengan nafas tersenggal.

“Em… di London. I saw it in a porn video.”

“Kamu nonton yang kayak gituan juga?”

“Beberapa kali, cause i'm curious.”

“Tapi yang kamu lakuin udah kayak profesional. Maksudku, kamu hebat puasin aku. Gila pokoknya. Mulutmu enak, neng.”

“Tapi rasanya aneh.”

“Apa?”

“Sperm. Nggak sengaja ketelan.”

Sumpah lucunya. Wajah polos Gadis benar-benar lucu. Satria tak bisa menahan hasrat ini terlalu lama. Sakit, dan rasanya benar-benar ingin dipuaskan oleh Gadis malam ini juga.

Dengan satu tarikan keras Satria berhasil membawa Gadis kembali berbaring diatas kasur, berganti posisi dengannya setelah berhasil membuat Gadis dalam keadaan telanjang bulat. Pemandangan menggiurkan yang hampir membuat liur Satria menetes.

“A, mandi dulu.”

“Nanti, nggak sabar pengen colok. Pedro pengen berpetualangan di rawa-rawa kamu.”

“Bakal sakit nggak?”

“Aku mainnya bakal pelan-pelan. Kalo sakit cubit aja pantatku, neng.” []

#GRADUATION PRESENT#

Satria tidak pernah menyukai segala jenis olahraga ringan selain salah satu olahraga yang dilakukan di atas ranjang. Akan sangat merugi baginya jika mengeluarkan keringat hanya dengan melakukan kegiatan fisik kecil-kecilan di dalam ruangan tanpa menguntungkannya dan membuatnya bahagia.

Namun kali ini prinsip itu tidak berlaku sama sekali. Sejak sepuluh menit yang lalu entah sudah berapa kali Satria melakukan push up di dalam kamar hotel Gadis selama perempuan itu berada di Jakarta, sebelum besoknya ia harus ke Bandung bertemu keluarganya.

Bunyi gemericik air yang jatuh dari dalam shower kamar mandi total membuat pikiran Satria buyar begitu saja. Pemikiran tentang segala hal yang berbau vulgar membuatnya kehilangan fokus pada game yang tadi ia mainkan kala menunggu sang kekasih menyelesaikan sesi mandinya.

Setelah makan malam bersama Ratu dan Raja tadi. Pasangan itu lebih memilih untuk kembali ke hotel Gadis lebih dulu, meninggalkan pasangan tergila yang mencoba fingering di tengah waktu romantis mereka saat double date.

Sialan! Satria tak sengaja menyaksikan kelakuan bejat calon adik iparnya saat mengambil sendoknya yang terjatuh di bawah meja. Aksi kotor itu terlihat jelas oleh kedua matanya, manaka tangan Raja menyelinap masuk ke sela kaki sang adik.

Hingga saat ini Satria terus merasakan efeknya. Terlebih lagi kini ia tengah menunggu Gadis yang sedang mandi, membayangkan tubuh semulus porselen milik cintanya itu berdiri dibawah guyuran air. Licin dan basah. Seksi sekali terbayang oleh otak kotor Satria.

“Oh, tuhan! Sadar Sat… sadar! Arrgh!” Dia frustasi disebabkan oleh pikirannya sendiri

Pemuda itu melompat-lompat kecil seperti tupai. Bahkan berlari-lari kecil di dalam kamar itu. Melakukan aktivitas yang mungkin bisa membuatnya melupakan pikiran bajingan yang melibatkan Gadis di dalamnya. Peluh mulai membasahi dahi. Rambut hitamnya yang agak berantakan sudah setengah basah. Satria lantas melepas blazer berwarna mocca yang tadi digunakan dan hanya tersisa kaos putih lengan pendek tipis dengan potongan kerah v. Memperlihatkan bidang dadanya yang lebar dan sudah pasti nyaman untuk bersandar kala tubuhnya pun mulai basah oleh keringat.

Kalo malam ini gue nggak bisa nahan lagi, semoga papi, ayah, dan kang prasetya bisa maafin gue!

Suara air tak lagi terdengar dari dalam kamar mandi. Bayangan Gadis terlihat mulai berjalan mendekati pintu kaca tersebut. Tak lama setelah itu pun yang ditunggu keluar dengan keadaan segar sehabis mandi. Masih menggunakan bathrobe putih milik hotel dan sehelai handuk yang menggulung rambut basahnya.

“Kamu nggak mandi, a?”

“A-aku harus mandi juga?” Tanyanya spontan di sela mengatur nafasnya yang tersengal sehabis berolahraga kecil.

“Kalo mau, ya nggak masalah. Lagian habis ngapain, sih? Kok keringetan banget kayaknya?”

Satria menjangkau botol air mineral di atas meja nakas. Membuka tutup botolnya, lalu meneguk air bening itu sampai tersisa setengah botol.

“Aku habis olahraga, neng.”

“Tumben banget.”

“Kalo nggak gitu aku bisa stres nungguin kamu.”

“Emang kenapa?”

Satria menggeleng. Lantas melempar tubuhnya berbaring terlentang di atas ranjang Gadis. Memejamkan matanya sejenak, masih mencoba untuk menjernihkan pikirannya.

“A…” Gadis memanggil.

“Hm?” Dia menjawab dengan deheman. Ia pikir Gadis hanya sekedar iseng memanggilnya, sehingga ia tidak berinisiatif untuk membuka matanya sama sekali. Ada rasanya sekitar dua menit suasana ruangan terasa sunyi. Gadis tidak bersuara sama sekali. Sampai akhirnya Satria mulai membuka kedua matanya ketika ia menerima beban berat menimpa tubuhnya. Aroma manis sabun dan shampoo langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Sepasang matanya membola kaget saat mendapati posisi Gadis yang berada di atasnya, menindih tubuhnya yang mendadak kaku begitu saja.

“Graduation present,” katanya lembut dan tersenyum simpul.

“Mana?” Tanya Satria spontan karena tak tahu harus mengeluarkan kata apalagi melihat posisinya dan Gadis saat ini.

Ternyata Satria akan dibuat gila oleh Gadis malam ini. Hadiah yang Satria tunggu nyatanya sudah ada dihadapannya kini. Gadis menarik simpul tali bathrobe yang melingkar di pinggangnya. Membuat Satria membeku kaget. Kemudian tanpa memberi jeda sedetikpun. Gadis langsung menyambar bibirnya. Mencium ranum tebal nan lembut itu dengan seduktif.

Satria membalas ciuman itu. Menarik tubuh Gadis semakin mendekat padanya. Ia melumat, menghisap bibir sang kekasih secara bergantian atas dan bawah. Sementara itu tangannya mulai bergerak, bergerilya di atas tubuh Gadis yang masih terbalut bathrobe. Tidak menggunakan apapun di dalamnya.

Bagaimana bisa tahu?

Sebab Satria dapat melihat belahan dada sintal Gadis yang mengintip di celah bagian tengah bathrobe yang hampir terbuka. Lalu perutnya yang masih tertutupi kaos tentu dengan mudah dapat merasakan bokong sintal itu mendudukinya tanpa celana dalam. Gadis malam ini adalah hadiah kelulusan luar biasa yang Satria dapatkan dari banyaknya hadiah yang ia terima.

Ciuman mesra. Bahkan saat ini Satria tengah menikmati lembutnya payudara sang kekasih yang tergantung bebas di atas wajahnya. Gadis memberikannya kebebasan malam ini. Bukan tanpa paksaan, namun ia juga sangat menginginkannya.

“A-a w-wait,” desahnya menghentikan mulut Satria yang menghisap putingnya seperti bayi.

“Sakit?”

“Nggak, enak kok. Tapi malam ini gantian.”

“Aku belum puas, neng.”

“Nanti, a.”

Gadis menegakkan tubuhnya. Duduk di atas perut keras Satria sambil melucuti bathrobe yang masih terpasang di bahu kembarnya. Secara jelas Satria melihat tubuh bagian atas Gadis yang membuatnya terpesona. Dengan bentuk yang bulat, padat, walaupun tidak terlalu besar. Namun daging sintal itu sangat pas di dalam genggamannya bersama puting coklat muda yang pas di mulutnya. Ingin sekali Satria abadikan keindahan ini melalui kamera ponselnya. Tapi kegiatan Gadis berikutnya langsung mengurungkan niat Satria.

Gadis itu duduk berlutut diantara kedua kaki Satria. Mencoba melucuti celana yang masih terpasang rapi di kedua tungkai panjangnya. Tanpa diberitahu pun Satria sudah dapat menebak. Sasaran utama Gadis adalah kejantanannya.

Persetan dengan bunyi ponsel yang terus berdering ribut. Saat ini Satria hanya mampu melenguh, mengerang dengan suara beratnya saat mulut hangat Gadis sibuk mengurut kejantanannya yang tegang. Menghisap dan menjilatinya seperti es krim. Satria tidak pernah tahu jika Gadis bisa melakukan hal kotor ini melebihi jalang. Kedua bolanya dimainkan, di remas dan diciumi tanpa rasa jijik. Satria seolah tengah melihat sisi yang sangat berbeda dari kekasihnya sendiri. Bagaimana saat kepala itu bergerak naik turun dan mulutnya menelan habis satu batang tebal Satria sampai membuatnya tersedak dan batuk.

“Aargh, neng!” Erang Satria meremas rambut Gadis dan menekan kepala wanita itu pada kejantannya.

Uhuk! Dia terbatuk dan langsung mengeluarkan milik Satria lagi dari dalam mulutnya. Basah dan licin. Tangan kanan Gadis menggenggamnya sambil dikocok-kocok pelan berulang kali.

“A, gede,” gumamnya lirih dengan penampilan mulut yang belepotan cairan yang bercampur dengan liur.

“Neng, kok bisa sih?” Tanyanya dengan nafas tersenggal.

“Em… di London. I saw it in a porn video.”

“Kamu nonton yang kayak gituan juga?”

“Beberapa kali, cause i'm curious.”

“Tapi yang kamu lakuin udah kayak profesional. Maksudku, kamu hebat puasin aku. Gila pokoknya. Mulutmu enak, neng.”

“Tapi rasanya aneh.”

“Apa?”

“Sperm. Nggak sengaja ketelan.”

Sumpah lucunya. Wajah polos Gadis benar-benar lucu. Satria tak bisa menahan hasrat ini terlalu lama. Sakit, dan rasanya benar-benar ingin dipuaskan oleh Gadis malam ini juga.

Dengan satu tarikan keras Satria berhasil membawa Gadis kembali berbaring diatas kasur, berganti posisi dengannya setelah berhasil membuat Gadis dalam keadaan telanjang bulat. Pemandangan menggiurkan yang hampir membuat liur Satria menetes.

“A, mandi dulu.”

“Nanti, nggak sabar pengen colok. Pedro pengen berpetualangan di rawa-rawa kamu.”

“Bakal sakit nggak?”

“Aku mainnya bakal pelan-pelan. Kalo sakit cubit aja pantatku, neng.” []


“Dek, jangan ditarik lagi ya buntut ayamnya.”

“Mamas Raja, Pasya ingin pegang ayam tapi. Ayamnya gendut.”

“Boleh kok pegang ayam. Tapi nanti kamu dipatok ayam kalo buntutnya ditarik,dek.”

“Dipatok itu apa?”

Raja menggaruk pelipisnya dan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Pasya. “Dipatok itu sama kayak digigit. Nanti mulut ayamnya gigit Pasya. Mau,hm?”

Kepala si kecil langsung menggeleng. Kemudian dia berdiri untuk melangkah mundur beberapa senti dari sekumpulan ayam, lalu berjongkok kembali memperhatikan ayam-ayam tersebut.

Sejak tiga puluh menit yang lalu Raja sudah berperan seperti seorang baby sitter yang menemani putra bungsu anak konglomerat yang sedang bermain bersama ayam. Bocah yang akan berusia empat tahun itu berjongkok tepat di belakang perkumpulan ayam yang sedang mencari makan di tanah. Dari ekspresi wajah mungil itu Raja menebak jika sebentar lagi Pasya akan menggerakkan tangannya untuk menyentuh ayam-ayam tersebut seperti yang dilakukannya beberapa saat yang lalu.

“Boleh bawa pulang nggak?” tanya Pasya mendongak saat Raja mendekatinya dan berdiri tepat di belakangnya. Pria berkemeja hitam itu tersenyum dengan pose berdiri tegak dan satu tangan di dalam saku celana.

“Kalo ayam yang ini tidak boleh dibawa pulang. Soalnya sudah punya orang,” jawab Raja.

“Pasya mau ayam yang gendut untuk main-main.”

“Besok kita beli setelah pulang ke rumah ya.”

“Duitnya? Pasya ada duit untuk beli ayam diberi kakak Atu tadi,” jelasnya. Kemudian mengeluarkan duit pecahan seribuan sebanyak dua lembar dari kantong celananya. Lantas memberikan uang sejumlah dua ribu itu pada Raja untuk membeli ayam.

“Kata papi kalo mau jajan harus diberi duit dulu. Pasya mau beli ayam, yang gendut biar bisa diajak berenang. Waktu itu kakak Atu beliin ayam rainbow, tapi sudah mati tenggelam. Ayamnya masih kecil tidak bisa berenang. Kalau yang ini sudah besar, pasti sudah bisa berenang.”

Agak takjub juga Raja karena Pasya mengenal ayam warna-warni yang dijual di pasar. Dia pikir bocah gucci itu tidak tahu wujud ayam pelangi yang dimainkannya saat masih kecil dulu. Entah apa pula motivasi Ratu memberikan sang adik mainan ayam warna-warni dan pada akhirnya ayam-ayam itu menjemput ajal mereka di kolam renang rumah mewah tersebut.

“Kalau begitu Pasya harus bobo siang dulu agar bisa beli ayam gendut nanti.”

“Oke. Mau bobo siang sama kakak Atu sajalah biar nanti bisa main ayam,” ujarnya berdiri dari posisi berjongkok. Lantas berlalu begitu saja meninggalkan ayam-ayam tadi dan berlari kecil masuk ke dalam apartemen kembali.

Sementara itu di belakangnya Raja menyusul sambil menghembuskan nafas berat. Jika begini Pasya lebih terlihat seperti anak Ratu, bukan adiknya. Kemudian pria itu bergumam kesal sambil melangkah.“Mas Raja juga mau bobo siang sama kakakmu,dek. Terus mau main burung bukan ayam!”


Sesampainya di dalam apartemen Ratu. Bocah kecil itu langsung berlari mencari sang kakak di dalam kamarnya.

“Tia, Atu mana?” tanyanya pada Satria yang sedang berleye-leye di ruang televisi. Tia adalah panggilan kecil Pasya untuk kakak pertamanya itu.

Saat ini Satria sedang beristirahat setelah menghadiri kelulusan Ratu. Sebab sore hari ini dia harus segera kembali ke Jakarta dikarenakan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan besok paginya. Diberikan tanggungjawab oleh Kaisar untuk mengurus sebuah perusahaan kontraktor hampir membuat Satria gila jika tidak mengingat dia masih lajang dan belum menikah.

“Atu? Atu hilang,” jawab sang kakak pertama dengan usil.

“Hilang di mana?”

“Hilang dilarikan tikus.”

“Tolol!” Umpat Ratu, tanpa Satria sadari jika di belakangnya Ratu sudah berdiri dan siap akan menjambak rambutnya. Di tangan kanannya sudah ada sebotol susu berukuran besar untuk Pasya.

“Atu, Pasya mau bobo.”

“Sudah mainnya?”

“Sudah. Nanti mau beli ayam setelah bobo siang kata mamas Raja.”

Tangan Ratu yang bebas digenggam oleh Pasya. Si kecil ingin ditemani tidur oleh sang kakak seperti biasanya jika mereka sedang bersama. Saat di rumah pun terkadang Pasya lebih memilih tidur di kamar sang kakak dibanding kedua orang tuanya. Sudah terbiasa dari bayi lebih banyak diurusi Ratu dibanding mami Dewi.

“Dek,” panggil Raja lirih saat Ratu akan masuk ke dalam kamar bersama Pasya.

“Apa? Mau nyusu juga? Sabar, gantian. Tetekku cuma dua. Kalau Pasya udah bobo nanti baru bisa ditinggal,” ucapnya agak tegas. Membuat Raja agak menciut sedikit dan bibirnya langsung merenggut.

Sudah lebih kurang 4 tahun mereka berpacaran. Sampai detik ini pun jantung Raja belum seberapa kuat untuk mendenger celetukan-celetukan Ratu yang keluar dari mulutnya tanpa rem.

“Mau bikin anak ya?” tanya Satria gamblang saat tak sengaja mencuri dengar obrolan singkat mereka barusan.

[]

#Raja mau nyusu


“Dek, jangan ditarik lagi ya buntut ayamnya.”

“Mamas Raja, Pasya ingin pegang ayam tapi. Ayamnya gendut.”

“Boleh kok pegang ayam. Tapi nanti kamu dipatok ayam kalo buntutnya ditarik,dek.”

“Dipatok itu apa?”

Raja menggaruk pelipisnya dan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Pasya. “Dipatok itu sama kayak digigit. Nanti mulut ayamnya gigit Pasya. Mau,hm?”

Kepala si kecil langsung menggeleng. Kemudian dia berdiri untuk melangkah mundur beberapa senti dari sekumpulan ayam, lalu berjongkok kembali memperhatikan ayam-ayam tersebut.

Sejak tiga puluh menit yang lalu Raja sudah berperan seperti seorang baby sitter yang menemani putra bungsu anak konglomerat yang sedang bermain bersama ayam. Bocah yang akan berusia empat tahun itu berjongkok tepat di belakang perkumpulan ayam yang sedang mencari makan di tanah. Dari ekspresi wajah mungil itu Raja menebak jika sebentar lagi Pasya akan menggerakkan tangannya untuk menyentuh ayam-ayam tersebut seperti yang dilakukannya beberapa saat yang lalu.

“Boleh bawa pulang nggak?” tanya Pasya mendongak saat Raja mendekatinya dan berdiri tepat di belakangnya. Pria berkemeja hitam itu tersenyum dengan pose berdiri tegak dan satu tangan di dalam saku celana.

“Kalo ayam yang ini tidak boleh dibawa pulang. Soalnya sudah punya orang,” jawab Raja.

“Pasya mau ayam yang gendut untuk main-main.”

“Besok kita beli setelah pulang ke rumah ya.”

“Duitnya? Pasya ada duit untuk beli ayam diberi kakak Atu tadi,” jelasnya. Kemudian mengeluarkan duit pecahan seribuan sebanyak dua lembar dari kantong celananya. Lantas memberikan uang sejumlah dua ribu itu pada Raja untuk membeli ayam.

“Kata papi kalo mau jajan harus diberi duit dulu. Pasya mau beli ayam, yang gendut biar bisa diajak berenang. Waktu itu kakak Atu beliin ayam rainbow, tapi sudah mati tenggelam. Ayamnya masih kecil tidak bisa berenang. Kalau yang ini sudah besar, pasti sudah bisa berenang.”

Agak takjub juga Raja karena Pasya mengenal ayam warna-warni yang dijual di pasar. Dia pikir bocah gucci itu tidak tahu wujud ayam pelangi yang dimainkannya saat masih kecil dulu. Entah apa pula motivasi Ratu memberikan sang adik mainan ayam warna-warni dan pada akhirnya ayam-ayam itu menjemput ajal mereka di kolam renang rumah mewah tersebut.

“Kalau begitu Pasya harus bobo siang dulu agar bisa beli ayam gendut nanti.”

“Oke. Mau bobo siang sama kakak Atu sajalah biar nanti bisa main ayam,” ujarnya berdiri dari posisi berjongkok. Lantas berlalu begitu saja meninggalkan ayam-ayam tadi dan berlari kecil masuk ke dalam apartemen kembali.

Sementara itu di belakangnya Raja menyusul sambil menghembuskan nafas berat. Jika begini Pasya lebih terlihat seperti anak Ratu, bukan adiknya. Kemudian pria itu bergumam kesal sambil melangkah.“Mas Raja juga mau bobo siang sama kakakmu,dek. Terus mau main burung bukan ayam!”


Sesampainya di dalam apartemen Ratu. Bocah kecil itu langsung berlari mencari sang kakak di dalam kamarnya.

“Tia, Atu mana?” tanyanya pada Satria yang sedang berleye-leye di ruang televisi. Tia adalah panggilan kecil Pasya untuk kakak pertamanya itu.

Saat ini Satria sedang beristirahat setelah menghadiri kelulusan Ratu. Sebab sore hari ini dia harus segera kembali ke Jakarta dikarenakan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan besok paginya. Diberikan tanggungjawab oleh Kaisar untuk mengurus sebuah perusahaan kontraktor hampir membuat Satria gila jika tidak mengingat dia masih lajang dan belum menikah.

“Atu? Atu hilang,” jawab sang kakak pertama dengan usil.

“Hilang di mana?”

“Hilang dilarikan tikus.”

“Tolol!” Umpat Ratu, tanpa Satria sadari jika di belakangnya Ratu sudah berdiri dan siap akan menjambak rambutnya. Di tangan kanannya sudah ada sebotol susu berukuran besar untuk Pasya.

“Atu, Pasya mau bobo.”

“Sudah mainnya?”

“Sudah. Nanti mau beli ayam setelah bobo siang kata mamas Raja.”

Tangan Ratu yang bebas digenggam oleh Pasya. Si kecil ingin ditemani tidur oleh sang kakak seperti biasanya jika mereka sedang bersama. Saat di rumah pun terkadang Pasya lebih memilih tidur di kamar sang kakak dibanding kedua orang tuanya. Sudah terbiasa dari bayi lebih banyak diurusi Ratu dibanding mami Dewi.

“Dek,” panggil Raja lirih saat Ratu akan masuk ke dalam kamar bersama Pasya.

“Apa? Mau nyusu juga? Sabar, gantian. Tetekku cuma dua. Kalau Pasya udah bobo nanti baru bisa ditinggal,” ucapnya agak tegas. Membuat Raja agak menciut sedikit dan bibirnya langsung merenggut.

Sudah lebih kurang 4 tahun mereka berpacaran. Sampai detik ini pun jantung Raja belum seberapa kuat untuk mendenger celetukan-celetukan Ratu yang keluar dari mulutnya tanpa rem.

“Mau bikin anak ya?” tanya Satria gamblang saat tak sengaja mencuri dengar obrolan singkat mereka barusan.

[]


Raja dan keluarganya dibuat tercengang saat melihat penyambutan keluarga Kaisar terhadap kunjungan mereka malam ini. Di atas meja makan sudah tersusun rapi berbagai macam jenis hidangan masakan padang sesuai permintaan Kaisar saat tahu jika istri dari temannya itu datang berkunjung.

Makan malam telah usai beberapa menit yang lalu. Saat ini Kaisar dan kedua pemuda sedang duduk di taman belakang sambil menikmati kopi dan merokok. Kebetulan pula siang tadi Satria baru datang dari Bandung karena perkuliahan sedang libur selama beberapa minggu kedepan.

“Kamu tidak berminat ambil S2,Ja?” tanya Kaisar saat Raja menyeruput kopi hitam di dalam cangkirnya.

“Sebenarnya ingin,pak. Tapi terhalang biaya dan tanggung jawab dengan keluarga,” jawabnya.

“Sangat bagus sekali jika kamu lanjut S2. Bisa jadi jabatanmu di pekerjaan pun jadi lebih tinggi. Satria kalau sudah lulus ini, ingin papi suruh lanjut S2.”

Papi? batin Raja menggelora. Kaisar menyebut dirinya papi saat berbicara? Oh tuhan, Raja mleyot!

“Pening kepala Satria kalau belajar terus,pi.” Satria malah membantah.

“Kamu selalu seperti itu,bang! Malas. Makanya tidak lulus-lulus kamu!”

Mendengar perdebatan ayah dan anak itu membuat Raja tertawa kecil sambil membuang puntung rokok di dalam asbak. Seketika itu pula dia merindukan sosok ayahnya saat melihat Satria dan Kaisar di depannya kini. Jika sang ayah masih hidup. Mungkin saat ini mereka akan duduk berempat di sini. Bercengkrama membahas banyak hal.

“Kamu kapan berangkat ke Kalimantan,Ja?”

“Lusa,pak.”

Kepala Kaisar mengangguk. “Semoga sukses disana. Kerja saja yang benar, jangan aneh-aneh. Godaan di lapangan itu sangat banyak,Ja. Jangan sampai lengah. Di perusahaan sebesar itu sangat sulit membedakan kawan dan lawan. Jangan terlalu baik sama orang. Jangan mau dibodohi senior. Jika ada pekerjaan yang salah, bantah. Kamu punya ilmu. Gunakan ilmu itu buat kebaikan orang banyak. KKN itu banyak terjadi di proyek-proyek seperti ini dan perusahaan besar, Ja. Hal yang paling papi benci. Hampir dua puluh tahun lebih papi berbisnis, sudah ratusan orang karyawan yang papi campakkan karena bermain-main dengan uang perusahaan. Tidak semua orang yang terdekat bisa mengemban amanah. Jangan sampai kamu dan Satria seperti itu nanti. Papi yang bakal pecahkan kepala kalian berdua. Uang haram itu mau kalian kasih makan anak istri?”

Sontak kepala dua pemuda itu menggeleng.

“Apalagi Raja sudah tidak ada ayah. Tidak ada yang nanti akan kasih kamu wejangan. Pria seusia kalian ini masih rawan, mudah goyah dan gampang terhasut. Anggap saja papi ini ayahmu, jika kamu butuh teman bercerita. Papi dan ayahmu itu sudah berkawan baik dari lama. Ayah kamu bukan orang lain lagi bagi papi. Saat kalian bangkrut pun sudah papi tawarkan modal usaha lagi. Tapi beliau menolak, takut jika usahanya bakal jatuh lagi. Padahal tidak masalah. Namanya juga bisnis. Papi juga tidak langsung seperti ini. Pernah jatuh dan berada di bawah juga. Awal menikah dengan mami Dewi pun papi tidak seperti sekarang. Walaupun saat itu keluarga papi termasuk berada.”

Raja dan Satria jadi semakin asyik mendengar kisah yang satu ini. Dari memberi wejangan sampai menceritakan kisah cintanya dengan Dewi dulu. “Saat itu mami si Ratu anak orang kaya. Putri tunggal. Orang tuanya punya pabrik. Pokoknya mami Dewi itu seperti tuan putri. Sama seperti Ratu. Ketika itu mami Ratu ini masih SMA dan papi sudah kuliah, mau lulus pula. Pria kalo sudah jatuh cinta kan seperti orang gila ya,” Raja tertawa malu-malu mendengarnya. “Tepat mami Dewi lulus SMA, papi pun selesai sidang. Malamnya papi datangi orang tuanya. Percaya diri saja, urusan di tolak itu belakangan. Padahal saat itu kata mami Dewi dia akan dijodohkan dengan anak pejabat. Tapi entah kenapa orang tuanya malah milih papi. Setelah menikah kami pindah ke Jakarta. Di situlah papi kenal ayahmu. Waktu itu dia masih pacaran dengan perempuan lain, belum sama ibumu. Kalau tidak salah dia sempat pulang ke solo selama setahun dan balik ke Jakarta ternyata sudah bawa istri, ibumu. Katanya dijodohkan, tapi saat mereka datang ke Jakarta ibumu sudah bunting. Hamil kamu.”

Raja baru tahu kisah ini. Tentang perjodohan kedua orang tuanya. Pantas saja kemarin ibunya gila-gilaan mau menjodohkan Raja dengan Ayu. Ternyata sudah tradisi turun-temurun di keluarga mereka.

“Pantas saja Raja dijodohkan dengan orang solo juga,pi,” celetuk Satria di tengah keheningan karena Kaisar sedang meminum kopinya.

“Oh,iya? Dijodohkan juga kamu?”

“Iya,pak. Tapi saya menolak karena sudah bersama dengan Ratu.”

“Dijodohkan dengan anak pak Surya yang tanahnya mau papi beli. Ratu bilang ke Satria waktu itu.”

“Oalah iya? Sempit sekali dunia ini. Nggak jadi papi beli tanah pak Surya. Katanya tidak jadi di jual. Padahal papi hanya tinggal transfer saja kemarin. Aneh memang, dibayar 5M kok ya nggak mau.”

“Kemurahan kali,pi.”

“Harusnya 3M juga tembus itu. Ya sudahlah, nggak rejeki dia berarti.”

Tak lama setelah itu muncullah Ratu dari dalam rumah. Datang membawa bolu dan diletakkan di atas meja di tengah-tengah tiga pria tersebut.

“Mas Raja, boleh minta tolong gantiin lampu di kamarku nggak?”

“Lampu mana lagi yang mati? Minta tolong sama pak Ujang sana.”

“Ih, mas Raja bisa kok. Sebentar aja mas.”

“Biar gue yang gantiin kalo gitu,” ujar Satria ingin bangkita dari kursinya.

“Nggak mau! Gue minta tolong sama Raja bukan sama lo. Nggak usah sok baik! Yok,mas.” Ratu menarik tangan Raja. Ingin membawa pria itu pergi ke kamarnya.

“Raja lagi ngobrol loh sama papi,Kak.”

“Nggak apa-apa, pak. Raja bantu sebentar benerin lampu kamarnya Ratu.”

“Kamu ini benar-benar ya kak.”

Ratu tidak peduli. Wanita itu tetap saja menarik tangan Raja untuk masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar. Melewati mami dan ibunya Raja yang sedang ngobrol. Lalu melewati Bagas yang bermain PS di ruang bersantai. Pasangan itu naik ke lantai dua. Masuk ke kamar Ratu. Lalu mengunci pintunya.

“Lampu dibagian mana yang mati,dek?”

“Bohong,hehe. Atu cuma mau bawa mas Raja main-main di sini. Jadi mau coba pake pembalut nggak mas? Biar Atu pakein.”

“Dek, astaga!”

“Nggak perlu di gulung mas ternyata. Di tarik aja ke atas.”

“Ya terus telurnya kamu kemanain?”

“Tetap di situ. Cuma agak gepeng aja nanti.”

“Dek, mas ngilu bayanginnya. Nggak ngerti lagi dengan isi kepalamu.”

[]

#Kunjungan Besan, Kaisar curcol


Raja dan keluarganya dibuat tercengang saat melihat penyambutan keluarga Kaisar terhadap kunjungan mereka malam ini. Di atas meja makan sudah tersusun rapi berbagai macam jenis hidangan masakan padang sesuai permintaan Kaisar saat tahu jika istri dari temannya itu datang berkunjung.

Makan malam telah usai beberapa menit yang lalu. Saat ini Kaisar dan kedua pemuda sedang duduk di taman belakang sambil menikmati kopi dan merokok. Kebetulan pula siang tadi Satria baru datang dari Bandung karena perkuliahan sedang libur selama beberapa minggu kedepan.

“Kamu tidak berminat ambil S2,Ja?” tanya Kaisar saat Raja menyeruput kopi hitam di dalam cangkirnya.

“Sebenarnya ingin,pak. Tapi terhalang biaya dan tanggung jawab dengan keluarga,” jawabnya.

“Sangat bagus sekali jika kamu lanjut S2. Bisa jadi jabatanmu di pekerjaan pun jadi lebih tinggi. Satria kalau sudah lulus ini, ingin papi suruh lanjut S2.”

Papi? batin Raja menggelora. Kaisar menyebut dirinya papi saat berbicara? Oh tuhan, Raja mleyot!

“Pening kepala Satria kalau belajar terus,pi.” Satria malah membantah.

“Kamu selalu seperti itu,bang! Malas. Makanya tidak lulus-lulus kamu!”

Mendengar perdebatan ayah dan anak itu membuat Raja tertawa kecil sambil membuang puntung rokok di dalam asbak. Seketika itu pula dia merindukan sosok ayahnya saat melihat Satria dan Kaisar di depannya kini. Jika sang ayah masih hidup. Mungkin saat ini mereka akan duduk berempat di sini. Bercengkrama membahas banyak hal.

“Kamu kapan berangkat ke Kalimantan,Ja?”

“Lusa,pak.”

Kepala Kaisar mengangguk. “Semoga sukses disana. Kerja saja yang benar, jangan aneh-aneh. Godaan di lapangan itu sangat banyak,Ja. Jangan sampai lengah. Di perusahaan sebesar itu sangat sulit membedakan kawan dan lawan. Jangan terlalu baik sama orang. Jangan mau dibodohi senior. Jika ada pekerjaan yang salah, bantah. Kamu punya ilmu. Gunakan ilmu itu buat kebaikan orang banyak. KKN itu banyak terjadi di proyek-proyek seperti ini dan perusahaan besar, Ja. Hal yang paling papi benci. Hampir dua puluh tahun lebih papi berbisnis, sudah ratusan orang karyawan yang papi campakkan karena bermain-main dengan uang perusahaan. Tidak semua orang yang terdekat bisa mengemban amanah. Jangan sampai kamu dan Satria seperti itu nanti. Papi yang bakal pecahkan kepala kalian berdua. Uang haram itu mau kalian kasih makan anak istri?”

Sontak kepala dua pemuda itu menggeleng.

“Apalagi Raja sudah tidak ada ayah. Tidak ada yang nanti akan kasih kamu wejangan. Pria seusia kalian ini masih rawan, mudah goyah dan gampang terhasut. Anggap saja papi ini ayahmu, jika kamu butuh teman bercerita. Papi dan ayahmu itu sudah berkawan baik dari lama. Ayah kamu bukan orang lain lagi bagi papi. Saat kalian bangkrut pun sudah papi tawarkan modal usaha lagi. Tapi beliau menolak, takut jika usahanya bakal jatuh lagi. Padahal tidak masalah. Namanya juga bisnis. Papi juga tidak langsung seperti ini. Pernah jatuh dan berada di bawah juga. Awal menikah dengan mami Dewi pun papi tidak seperti sekarang. Walaupun saat itu keluarga papi termasuk berada.”

Raja dan Satria jadi semakin asyik mendengar kisah yang satu ini. Dari memberi wejangan sampai menceritakan kisah cintanya dengan Dewi dulu. “Saat itu mami si Ratu anak orang kaya. Putri tunggal. Orang tuanya punya pabrik. Pokoknya mami Dewi itu seperti tuan putri. Sama seperti Ratu. Ketika itu mami Ratu ini masih SMA dan papi sudah kuliah, mau lulus pula. Pria kalo sudah jatuh cinta kan seperti orang gila ya,” Raja tertawa malu-malu mendengarnya. “Tepat mami Dewi lulus SMA, papi pun selesai sidang. Malamnya papi datangi orang tuanya. Percaya diri saja, urusan di tolak itu belakangan. Padahal saat itu kata mami Dewi dia akan dijodohkan dengan anak pejabat. Tapi entah kenapa orang tuanya malah milih papi. Setelah menikah kami pindah ke Jakarta. Di situlah papi kenal ayahmu. Waktu itu dia masih pacaran dengan perempuan lain, belum sama ibumu. Kalau tidak salah dia sempat pulang ke solo selama setahun dan balik ke Jakarta ternyata sudah bawa istri, ibumu. Katanya dijodohkan, tapi saat mereka datang ke Jakarta ibumu sudah bunting. Hamil kamu.”

Raja baru tahu kisah ini. Tentang perjodohan kedua orang tuanya. Pantas saja kemarin ibunya gila-gilaan mau menjodohkan Raja dengan Ayu. Ternyata sudah tradisi turun-temurun di keluarga mereka.

“Pantas saja Raja dijodohkan dengan orang solo juga,pi,” celetuk Satria di tengah keheningan karena Kaisar sedang meminum kopinya.

“Oh,iya? Dijodohkan juga kamu?”

“Iya,pak. Tapi saya menolak karena sudah bersama dengan Ratu.”

“Dijodohkan dengan anak pak Surya yang tanahnya mau papi beli. Ratu bilang ke Satria waktu itu.”

“Oalah iya? Sempit sekali dunia ini. Nggak jadi papi beli tanah pak Surya. Katanya tidak jadi di jual. Padahal papi hanya tinggal transfer saja kemarin. Aneh memang, dibayar 5M kok ya nggak mau.”

“Kemurahan kali,pi.”

“Harusnya 3M juga tembus itu. Ya sudahlah, nggak rejeki dia berarti.”

Tak lama setelah itu muncullah Ratu dari dalam rumah. Datang membawa bolu dan diletakkan di atas meja di tengah-tengah tiga pria tersebut.

“Mas Raja, boleh minta tolong gantiin lampu di kamarku nggak?”

“Lampu mana lagi yang mati? Minta tolong sama pak Ujang sana.”

“Ih, mas Raja bisa kok. Sebentar aja mas.”

“Biar gue yang gantiin kalo gitu,” ujar Satria ingin bangkita dari kursinya.

“Nggak mau! Gue minta tolong sama Raja bukan sama lo. Nggak usah sok baik! Yok,mas.” Ratu menarik tangan Raja. Ingin membawa pria itu pergi ke kamarnya.

“Raja lagi ngobrol loh sama papi,Kak.”

“Nggak apa-apa, pak. Raja bantu sebentar benerin lampu kamarnya Ratu.”

“Kamu ini benar-benar ya kak.”

Ratu tidak peduli. Wanita itu tetap saja menarik tangan Raja untuk masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar. Melewati mami dan ibunya Raja yang sedang ngobrol. Lalu melewati Bagas yang bermain PS di ruang bersantai. Pasangan itu naik ke lantai dua. Masuk ke kamar Ratu. Lalu mengunci pintunya.

“Lampu dibagian mana yang mati,dek?”

“Bohong,hehe. Atu cuma mau bawa mas Raja main-main di sini. Jadi mau coba pake pembalut nggak mas? Biar Atu pakein.”

“Dek, astaga!”

“Nggak perlu di gulung mas ternyata. Di tarik aja ke atas.”

“Ya terus telurnya kamu kemanain?”

“Tetap di situ. Cuma agak gepeng aja nanti.”

“Dek, mas ngilu bayanginnya.”

[]