Raja mau nyusu
“Dek, jangan ditarik lagi ya buntut ayamnya.”
“Mamas Raja, Pasya ingin pegang ayam tapi. Ayamnya gendut.”
“Boleh kok pegang ayam. Tapi nanti kamu dipatok ayam kalo buntutnya ditarik,dek.”
“Dipatok itu apa?”
Raja menggaruk pelipisnya dan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Pasya. “Dipatok itu sama kayak digigit. Nanti mulut ayamnya gigit Pasya. Mau,hm?”
Kepala si kecil langsung menggeleng. Kemudian dia berdiri untuk melangkah mundur beberapa senti dari sekumpulan ayam, lalu berjongkok kembali memperhatikan ayam-ayam tersebut.
Sejak tiga puluh menit yang lalu Raja sudah berperan seperti seorang baby sitter yang menemani putra bungsu anak konglomerat yang sedang bermain bersama ayam. Bocah yang akan berusia empat tahun itu berjongkok tepat di belakang perkumpulan ayam yang sedang mencari makan di tanah. Dari ekspresi wajah mungil itu Raja menebak jika sebentar lagi Pasya akan menggerakkan tangannya untuk menyentuh ayam-ayam tersebut seperti yang dilakukannya beberapa saat yang lalu.
“Boleh bawa pulang nggak?” tanya Pasya mendongak saat Raja mendekatinya dan berdiri tepat di belakangnya. Pria berkemeja hitam itu tersenyum dengan pose berdiri tegak dan satu tangan di dalam saku celana.
“Kalo ayam yang ini tidak boleh dibawa pulang. Soalnya sudah punya orang,” jawab Raja.
“Pasya mau ayam yang gendut untuk main-main.”
“Besok kita beli setelah pulang ke rumah ya.”
“Duitnya? Pasya ada duit untuk beli ayam diberi kakak Atu tadi,” jelasnya. Kemudian mengeluarkan duit pecahan seribuan sebanyak dua lembar dari kantong celananya. Lantas memberikan uang sejumlah dua ribu itu pada Raja untuk membeli ayam.
“Kata papi kalo mau jajan harus diberi duit dulu. Pasya mau beli ayam, yang gendut biar bisa diajak berenang. Waktu itu kakak Atu beliin ayam rainbow, tapi sudah mati tenggelam. Ayamnya masih kecil tidak bisa berenang. Kalau yang ini sudah besar, pasti sudah bisa berenang.”
Agak takjub juga Raja karena Pasya mengenal ayam warna-warni yang dijual di pasar. Dia pikir bocah gucci itu tidak tahu wujud ayam pelangi yang dimainkannya saat masih kecil dulu. Entah apa pula motivasi Ratu memberikan sang adik mainan ayam warna-warni dan pada akhirnya ayam-ayam itu menjemput ajal mereka di kolam renang rumah mewah tersebut.
“Kalau begitu Pasya harus bobo siang dulu agar bisa beli ayam gendut nanti.”
“Oke. Mau bobo siang sama kakak Atu sajalah biar nanti bisa main ayam,” ujarnya berdiri dari posisi berjongkok. Lantas berlalu begitu saja meninggalkan ayam-ayam tadi dan berlari kecil masuk ke dalam apartemen kembali.
Sementara itu di belakangnya Raja menyusul sambil menghembuskan nafas berat. Jika begini Pasya lebih terlihat seperti anak Ratu, bukan adiknya. Kemudian pria itu bergumam kesal sambil melangkah.“Mas Raja juga mau bobo siang sama kakakmu,dek. Terus mau main burung bukan ayam!”
Sesampainya di dalam apartemen Ratu. Bocah kecil itu langsung berlari mencari sang kakak di dalam kamarnya.
“Tia, Atu mana?” tanyanya pada Satria yang sedang berleye-leye di ruang televisi. Tia adalah panggilan kecil Pasya untuk kakak pertamanya itu.
Saat ini Satria sedang beristirahat setelah menghadiri kelulusan Ratu. Sebab sore hari ini dia harus segera kembali ke Jakarta dikarenakan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan besok paginya. Diberikan tanggungjawab oleh Kaisar untuk mengurus sebuah perusahaan kontraktor hampir membuat Satria gila jika tidak mengingat dia masih lajang dan belum menikah.
“Atu? Atu hilang,” jawab sang kakak pertama dengan usil.
“Hilang di mana?”
“Hilang dilarikan tikus.”
“Tolol!” Umpat Ratu, tanpa Satria sadari jika di belakangnya Ratu sudah berdiri dan siap akan menjambak rambutnya. Di tangan kanannya sudah ada sebotol susu berukuran besar untuk Pasya.
“Atu, Pasya mau bobo.”
“Sudah mainnya?”
“Sudah. Nanti mau beli ayam setelah bobo siang kata mamas Raja.”
Tangan Ratu yang bebas digenggam oleh Pasya. Si kecil ingin ditemani tidur oleh sang kakak seperti biasanya jika mereka sedang bersama. Saat di rumah pun terkadang Pasya lebih memilih tidur di kamar sang kakak dibanding kedua orang tuanya. Sudah terbiasa dari bayi lebih banyak diurusi Ratu dibanding mami Dewi.
“Dek,” panggil Raja lirih saat Ratu akan masuk ke dalam kamar bersama Pasya.
“Apa? Mau nyusu juga? Sabar, gantian. Tetekku cuma dua. Kalau Pasya udah bobo nanti baru bisa ditinggal,” ucapnya agak tegas. Membuat Raja agak menciut sedikit dan bibirnya langsung merenggut.
Sudah lebih kurang 4 tahun mereka berpacaran. Sampai detik ini pun jantung Raja belum seberapa kuat untuk mendenger celetukan-celetukan Ratu yang keluar dari mulutnya tanpa rem.
“Mau bikin anak ya?” tanya Satria gamblang saat tak sengaja mencuri dengar obrolan singkat mereka barusan.
[]