bundabunny

Kunjungan

#Kunjungan Besan, Kaisar curcol


Raja dan keluarganya dibuat tercengang saat melihat penyambutan keluarga Kaisar terhadap kunjungan mereka malam ini. Di atas meja makan sudah tersusun rapi berbagai macam jenis hidangan masakan padang sesuai permintaan Kaisar saat tahu jika istri dari temannya itu datang berkunjung.

Makan malam telah usai beberapa menit yang lalu. Saat ini Kaisar dan kedua pemuda sedang duduk di taman belakang sambil menikmati kopi dan merokok. Kebetulan pula siang tadi Satria baru datang dari Bandung karena perkuliahan sedang libur selama beberapa minggu kedepan.

“Kamu tidak berminat ambil S2,Ja?” tanya Kaisar saat Raja menyeruput kopi hitam di dalam cangkirnya.

“Sebenarnya ingin,pak. Tapi terhalang biaya dan tanggung jawab dengan keluarga,” jawabnya.

“Sangat bagus sekali jika kamu lanjut S2. Bisa jadi jabatanmu di pekerjaan pun jadi lebih tinggi. Satria kalau sudah lulus ini, ingin papi suruh lanjut S2.”

Papi? batin Raja menggelora. Kaisar menyebut dirinya papi saat berbicara? Oh tuhan, Raja mleyot!

“Pening kepala Satria kalau belajar terus,pi.” Satria malah membantah.

“Kamu selalu seperti itu,bang! Malas. Makanya tidak lulus-lulus kamu!”

Mendengar perdebatan ayah dan anak itu membuat Raja tertawa kecil sambil membuang puntung rokok di dalam asbak. Seketika itu pula dia merindukan sosok ayahnya saat melihat Satria dan Kaisar di depannya kini. Jika sang ayah masih hidup. Mungkin saat ini mereka akan duduk berempat di sini. Bercengkrama membahas banyak hal.

“Kamu kapan berangkat ke Kalimantan,Ja?”

“Lusa,pak.”

Kepala Kaisar mengangguk. “Semoga sukses disana. Kerja saja yang benar, jangan aneh-aneh. Godaan di lapangan itu sangat banyak,Ja. Jangan sampai lengah. Di perusahaan sebesar itu sangat sulit membedakan kawan dan lawan. Jangan terlalu baik sama orang. Jangan mau dibodohi senior. Jika ada pekerjaan yang salah, bantah. Kamu punya ilmu. Gunakan ilmu itu buat kebaikan orang banyak. KKN itu banyak terjadi di proyek-proyek seperti ini dan perusahaan besar, Ja. Hal yang paling papi benci. Hampir dua puluh tahun lebih papi berbisnis, sudah ratusan orang karyawan yang papi campakkan karena bermain-main dengan uang perusahaan. Tidak semua orang yang terdekat bisa mengemban amanah. Jangan sampai kamu dan Satria seperti itu nanti. Papi yang bakal pecahkan kepala kalian berdua. Uang haram itu mau kalian kasih makan anak istri?”

Sontak kepala dua pemuda itu menggeleng.

“Apalagi Raja sudah tidak ada ayah. Tidak ada yang nanti akan kasih kamu wejangan. Pria seusia kalian ini masih rawan, mudah goyah dan gampang terhasut. Anggap saja papi ini ayahmu, jika kamu butuh teman bercerita. Papi dan ayahmu itu sudah berkawan baik dari lama. Ayah kamu bukan orang lain lagi bagi papi. Saat kalian bangkrut pun sudah papi tawarkan modal usaha lagi. Tapi beliau menolak, takut jika usahanya bakal jatuh lagi. Padahal tidak masalah. Namanya juga bisnis. Papi juga tidak langsung seperti ini. Pernah jatuh dan berada di bawah juga. Awal menikah dengan mami Dewi pun papi tidak seperti sekarang. Walaupun saat itu keluarga papi termasuk berada.”

Raja dan Satria jadi semakin asyik mendengar kisah yang satu ini. Dari memberi wejangan sampai menceritakan kisah cintanya dengan Dewi dulu. “Saat itu mami si Ratu anak orang kaya. Putri tunggal. Orang tuanya punya pabrik. Pokoknya mami Dewi itu seperti tuan putri. Sama seperti Ratu. Ketika itu mami Ratu ini masih SMA dan papi sudah kuliah, mau lulus pula. Pria kalo sudah jatuh cinta kan seperti orang gila ya,” Raja tertawa malu-malu mendengarnya. “Tepat mami Dewi lulus SMA, papi pun selesai sidang. Malamnya papi datangi orang tuanya. Percaya diri saja, urusan di tolak itu belakangan. Padahal saat itu kata mami Dewi dia akan dijodohkan dengan anak pejabat. Tapi entah kenapa orang tuanya malah milih papi. Setelah menikah kami pindah ke Jakarta. Di situlah papi kenal ayahmu. Waktu itu dia masih pacaran dengan perempuan lain, belum sama ibumu. Kalau tidak salah dia sempat pulang ke solo selama setahun dan balik ke Jakarta ternyata sudah bawa istri, ibumu. Katanya dijodohkan, tapi saat mereka datang ke Jakarta ibumu sudah bunting. Hamil kamu.”

Raja baru tahu kisah ini. Tentang perjodohan kedua orang tuanya. Pantas saja kemarin ibunya gila-gilaan mau menjodohkan Raja dengan Ayu. Ternyata sudah tradisi turun-temurun di keluarga mereka.

“Pantas saja Raja dijodohkan dengan orang solo juga,pi,” celetuk Satria di tengah keheningan karena Kaisar sedang meminum kopinya.

“Oh,iya? Dijodohkan juga kamu?”

“Iya,pak. Tapi saya menolak karena sudah bersama dengan Ratu.”

“Dijodohkan dengan anak pak Surya yang tanahnya mau papi beli. Ratu bilang ke Satria waktu itu.”

“Oalah iya? Sempit sekali dunia ini. Nggak jadi papi beli tanah pak Surya. Katanya tidak jadi di jual. Padahal papi hanya tinggal transfer saja kemarin. Aneh memang, dibayar 5M kok ya nggak mau.”

“Kemurahan kali,pi.”

“Harusnya 3M juga tembus itu. Ya sudahlah, nggak rejeki dia berarti.”

Tak lama setelah itu muncullah Ratu dari dalam rumah. Datang membawa bolu dan diletakkan di atas meja di tengah-tengah tiga pria tersebut.

“Mas Raja, boleh minta tolong gantiin lampu di kamarku nggak?”

“Lampu mana lagi yang mati? Minta tolong sama pak Ujang sana.”

“Ih, mas Raja bisa kok. Sebentar aja mas.”

“Biar gue yang gantiin kalo gitu,” ujar Satria ingin bangkita dari kursinya.

“Nggak mau! Gue minta tolong sama Raja bukan sama lo. Nggak usah sok baik! Yok,mas.” Ratu menarik tangan Raja. Ingin membawa pria itu pergi ke kamarnya.

“Raja lagi ngobrol loh sama papi,Kak.”

“Nggak apa-apa, pak. Raja bantu sebentar benerin lampu kamarnya Ratu.”

“Kamu ini benar-benar ya kak.”

Ratu tidak peduli. Wanita itu tetap saja menarik tangan Raja untuk masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar. Melewati mami dan ibunya Raja yang sedang ngobrol. Lalu melewati Bagas yang bermain PS di ruang bersantai. Pasangan itu naik ke lantai dua. Masuk ke kamar Ratu. Lalu mengunci pintunya.

“Lampu dibagian mana yang mati,dek?”

“Bohong,hehe. Atu cuma mau bawa mas Raja main-main di sini. Jadi mau coba pake pembalut nggak mas? Biar Atu pakein.”

“Dek, astaga!”

“Nggak perlu di gulung mas ternyata. Di tarik aja ke atas.”

“Ya terus telurnya kamu kemanain?”

“Tetap di situ. Cuma agak gepeng aja nanti.”

“Dek, mas ngilu bayanginnya.”

[]