#Aku ini siapa?

Tidak peduli jika nanti pintu kayu bikinan pabrik di Jerman itu akan rusak karena didobrak terus menerus oleh Satria berulang kali. Di congkel beberapa kali oleh supir dan penjaga di rumah Kaisar beberapa kali dengan linggis. Pikiran mereka semua cuma satu saat ini. Pintu itu harus segera terbuka.

“Ratu… Ratu buka pintunya, nak. Ya allah… gimana ini,pi?”

“Ratu, ini papi. Buka dulu, kita ngomong. Ngobrol sama papi.”

Suara tangis dan teriakan sudah bercampur menjadi satu di dalam kamar Ratu. Bahkan lengan kanan Satria sudah hampir mati rasa karena harus ditabrakan ke pintu kayu tersebut.

“Ya allah, Pi. Satria cepat buka bisa nggak?”

Kali ini Dewi benar-benar takut akan terjadi sesuatu pada putrinya. Dua bulan ini ia sangat merasa bersalah pada putrinya. Selama ini dia selalu menyepelekan perasaan sang putri. Membandingkan dengan anak yang satunya. Hal yang terjadi pada Ratu saat ini juga merupakan kesalahannya. Hancur hati ketika sang putri terkena skandal beberapa tahun yang lalu. Rasanya dunia Dewi berantakan. Perannya sebagai orang tua semakin gagal saat itu. Dia marah dan kecewa, terlebih pada dirinya sendiri.

“Iya ini mau dibuka. Makanya mami diem dulu.” “Ya allah, ini pasti salah mami.”

“Dek, buka pintunya.” Satria berteriak dari luar. Peluh mulai membanjiri kepala sampai mengalir ke badannya. Mengalir cukup deras membuat punggungnya basah.

“Hancurin aja engselnya. Pak Yanto tolong hancurkan saja engselnya.”

“Baik, pak.”

Pak Yanto sudah bersiap mengambil ancang-ancang ingin melayangkan linggis ke arah engsel pintu tersebut. Namun beberapa detik sebelum itu terdengar bunyi kunci yang diputar. Setelah itu pintu kamar Ratu pun terbuka. Di balik pintu Ratu berdiri dengan tatapan kosong. Kelopak matanya yang sembab berkedip beberapa kali.

Betapa terkejutnya mereka saat melihat kondisi kamar Ratu yang hancur berantakan. Serpihan kaca berserakan hampir di seluruh lantai kamar.

Dia terdiam di posisinya sambil memandang satu persatu keluarganya yang memasang raut wajah cemas.

“Dek.”

Dia melangkah mundur saat ayahnya mencoba untuk masuk dan menjangkau lengannya. “Ratu haus. Pengen minum.”

Tanpa memerintah siapapun. Secepat kilat Satria turun ke lantai satu untuk mengambil segelas air mineral untuk sang adik. Tak sampai dua menit Satria sudah kembali ke lantai atas dengan membawa segelas air ditangannya.

“Minum dulu,” ujarnya sambil memberikan gelas itu ke tangan Ratu.

Ratu meminumnya sampai menyisakan air setengahnya di dalam gelas itu. Lalu memberikan kembali gelasnya pada sang ayah yang berdiri beberapa senti di sampingnya.

“Pada ngapain?” Tanyanya dengan suara lemah hampir tak terdengar.

“Papi, mami sama bang Satria mau ketemu dan ngobrol sama kamu. Kita semua kangen. Kita semua nunggu kamu pulang.”

“Mami setiap hari tungguin Ratu pulang,” timpal sang ibu mencoba ikut mendekat.

“Aku nggak terbiasa dengan keadaan kaya gini. Biasanya kalian semua sibuk. Sekarang kenapa pada ngumpul di sini?”

“Papi minta maaf ya, nak. Papi dan mami sudah banyak salahnya dengan Ratu.” “Ratu menyesal rasanya dilahirkan di dalam keluarga ini. Kenapa mami sampe biarin Ratu lahir?”

Kaisar dan Dewi langsung merasakan sakit sampai ke ulu hati kala mendengar kalimat memilukan yang baru saja terlontar dari mulut Ratu. Orang tua mana yang tidak terluka hatinya saat mendengar buah hati mereka mengatakan kalimat seperti itu.

Satria yang berdiri di belakang orang tuanya masih ikut terdiam membisu.

“Papi dan mami minta maaf.”

“Sebenarnya aku dianggap ada nggak sih di keluarga ini? Mi, Ratu punya salah apa sama mami? Kenapa mami selalu membedakan Ratu dengan Satria? Ratu anak pungut ya? Mami dan papi ambil di samping tong sampah?”

Ratu mundur lagi beberapa langkah. Tanpa melihat ke belakang, kakinya menginjak serpihan kaca dengan santainya tanpa merasakan sakit sama sekali.

“Jangan pada minta maaf terus. Nggak ada yang salah disini. Kesalahan cuma satu. Kehadiran aku di dalam keluarga ini. Itu kesalahannya.”

“Jangan bicara seperti itu, dek. Mami nggak pernah merasakan seperti yang kamu katakan itu.”

“Aku cuma pengen disayang-sayang. Diperhatiin, dipuji masakannya. Diapresiasi atas apa yang aku lakuin. Bukannya terus dimarahin atas kesalahan yang aku perbuat. Pernah nggak papi dan mami ngeliat nilai semesterku?”

Dewi dan Kaisar sama-sama terdiam.

Tenggorokan Ratu mulai terasa tercekat. “Pernah nggak papi dan mami nanyain kabarku atau sekedar nanyain aku udah makan atau belum?”

Kedua orang tua itu masih terdiam.

“Aku mati sendirian di apartemenku pun mungkin kalian nggak akan pernah tau. Karena memang aku tidak sepenting itu di hidup kalian.”

Satria yang semula hanya diam berdiri di belakang kedua orang tuanya pun berjalan maju, menggapai sang adik dan langsung memeluknya dengan erat. Tubuh yang lebih kecil darinya itu mencoba untuk memberontak, melepaskan diri. Akan tetapi dekapan hangat Satria sulit dilepaskan oleh Ratu yang tak lagi memiliki tenaga berlebih. Rasanya energi di dalam sudah terkuras habis saat ia menghancurkan isi kamarnya.

Ratu menangis. Satria juga, tapi tidak sekeras Ratu. Bukan hanya mereka. Kedua orang tua pun ikut merasakan kesedihan itu. Terutama sang ibu yang merasakan penyesalan.

Hati Satria sakit manakalanmelihat keadaan adiknya saat ini. Tidak ada yang tahu selain dirinya, termasuk kedua orang tua mereka jika selama dua bulan ini sang adik terus mendatangi seorang psikiater.

“Dek, gue mohon. Ini terakhir kalinya gue liat lo kayak gini.”

“Ratu capek. Nggak ada satu orang pun yang sayang sama aku. Bahkan kamu dan Raja sekalipun.”

Sementara itu di dalam kereta Raja terus mencoba menghubungi Ratu. Berulang kali matanya melihat ke arah jarum jam yang bergerak lambat dan kereta yang terasa melaju pelan.

Hatinya mulai bergemuruh untuk segera bertemu dengan Ratu. Rasa rindu dan khawatir, segalanya bercampur menjadi satu. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi nanti saat ia tiba di kediaman sang kekasih. Namun apapun itu, ia rela mendapat perlakuan apapun saat bertemu dengan Ratu. Dipukul, ditampar dan bahkan ditendang pun Raja akan rela. []