bundabunny

Demi Mbak Ratu

“Halo mas Raja. Mau jemput mbak Ratu,ya?” tanya pak Deden, satpam di rumah mewah Ratu. Menyambut Raja dengan senyum lebar sembari membuka pintu pagar kecil yang hanya bisa dilewati satu honda.

Baru saja tiba. Raja turun dari motor sembari melepas helm di atas kepalanya. Menyibak rambut hitam legam yang menutupi keningnya ke belakang.

“Halo pak Deden. Mbak Ratu ada di dalam kan?” Raja menyapa balik dengan keramahan seperti biasa.

“Ada kok. Mau berangkat ke kampus,ya?”

“Iya,Pak.”

“Kalo gitu langsung masukin aja motor mas Raja ke dalam garasi.”

“Gak perlu,Pak. Mbak Ratu pengen naik motor hari ini. Bosen naik mobil mewah katanya.”

“Oalah, yaudah kalo gitu hati-hati yo mas. Jangan sampe lecet anak bungsu si papi,” kata pak Deden sambil tertawa kecil.

Tak berselang lama Ratu pun datang. Menyandang tas di punggungnya. Sudah rapi dengan stelan kemeja yang dimasukkan sebagian dipadukan celana Jeans hitam dan sepatu berwarna putih.

Saat Ratu berjalan ke arah Raja, pria itu terdiam, berdiri mematung hanya fokus menatap satu titik, Ratu. Belum lagi hidungnya yang kembang kempis menghirup aroma parfum Ratu yang menyegarkan. Sangat feminim, menggambarkan kepribadian seorang Ratu sekali di mata Raja.

“Mas Raja udah lama nunggu?” tanyanya selalu sopan.

“Belum kok,mbak. Baru aja tiba.”

“Berangkat sekarang?”

“Ayo, kalo mbak Ratu udah siap.”


Di perjalanan pulang dari kampus Ratu terlihat sangat menikmati kegiatan motorannya bersama Raja. Di tangannya memegang setangkai gulali yang tadi dia beli di depan kampus.

Raja dapat melihat dengan jelas wajah riang Ratu dari spion motor beat nya. Dia tebak jika hal seperti ini baru pertama kali Ratu lakukan.

“Mbak suka motoran?” Raja bertanya dengan suara keras. Sesekali menoleh ke belakang melihat Ratu yang menganggukkan kepala.

“Suka,Mas. Saya udah lama gak motoran semenjak kakak saya kuliah di Bandung,” kata Ratu menjawab dengan suara tak kalah keras. “Biasanya sama kakak saya suka diajakin motoran kalo lagi libur atau cari cemilan malam-malam.”

“Oh,gitu. Besok-besok mau naik motor lagi gak,mbak?”

“Mau. Boleh kalo mas Raja gak keberatan.”

“Yaudah, entar kapan-kapan kita pergi ke kampus naik motor lagi ya,mbak.”

“Iya,mas.”

Ratu melanjutkan kegiatan memakan gulalinya di atas motor, di bonceng sang supir. Tangan kanannya meremas jaket denim di bagian pinggang Raja, menjadikannya sebagai tempat bergantung agar tidak jatuh, tertinggal di jalan raya. Sedang tangan kirinya memegang tangkai gulali yang masih cukup besar.

Tanpa disadari bibir Raja tertarik kedua sudutnya ke atas menunjukkan kurva senyum manis, mencuri pandang ke arah belakang melalui kaca spion. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.

Ibarat Ratu adalah kutub utara sebuah magnet. Sedangkan Raja adalah kutub selatan sebuah magnet. Sehingga keadaan mereka sekarang ini terlihat seperti sedang tarik menarik. Raja memandang Ratu diam-diam. Begitupun Ratu melakukan hal sama tanpa sepengetahuan Raja yang fokus membawa motor.

Saat di persimpangan jalan menuju ke rumah Ratu. Tiba-tiba saja satu buah mobil pajero putih menyenggol mereka. Mengakibatkan kedua orang yang di atas motor tersebut jatuh tersungkur di atas aspal.

Raja masih bisa menahan tubuhnya dan motor beat merahnya. Sementara Ratu yang tidak mengetahui akan terjadi hal itu pun langsung terjatuh. Menyebabkan gulalinya terjatuh dan lututnya berdarah akibat bergesekan dengan aspal.

“Mbak!” Panggil Raja panik, berlari mendekati Ratu yang meringis mengeluarkan tisu dari dalam tas untuk menutupi lukanya yang berdarah segar.

“Mas Raja nggak apa-apa?” tanyanya.

“Saya nggak apa-apa. Malah mbak yang jadi luka-luka kaya gini. Kalo bapak tahu mbak Ratu jatuh dari motor, saya bisa dipecat ini.” Kata Raja cemas membantu Ratu untuk berdiri.

Disekitar mereka sudah ramai oleh pengendara lainnya. Mobil pajero yang menyenggol mereka masih terparkir di sana, tak jauh dari motor Raja.

“Nggak apa, nanti diobati di rumah.”

Raja memapah Ratu ke pinggiran trotoar. Mendudukkan sang majikan terlebih dahulu sebelum bertemu dengan si pengemudi pajero sialan yang menyenggol mereka.

“Turun anjing!” Teriak Raja memukul keras kaca depan mobil pajero dengan helmnya. Meminta pada si pengemudi untuk turun bertemu dengan dirinya.

Dalam keadaan emosi Raja terus memukul kaca mobil pajero tersebut sampai akhirnya seorang pemuda turun dengan santainya. Menatap Raja sebentar, kemudian berjalan memutar ke belakang mobil untuk menghampiri Ratu yang sedang meniup-niup luka dilutunya.

“Pulang sama aku!” Kata pemuda yang turun dari pajero tadi menarik lengan Ratu dengan keras hingga perempuan itu berdiri dan meringis.

“Aw! Apa-apaan sih lo! Lo mau bikin gue mati?” Bentak Ratu setelah mengetahui siapa oknum yang melakukan penyenggolan pada motor Raja.

Krisna, mantan kekasih gilanya.

“Pulang sama aku!” Kata Krisna menarik Ratu ke arah mobilnya. Mengabaikan penolakan yang dilakukan oleh perempuan itu.

“Woi, santi bro!” Cegat Raja menahan lengan Krisna yang mencengkram pergelangan tangan Ratu.

“Lo lagi!” seru Krisna mengangkat dagu angkuh seakan menantang Raja.

“Lepasin tangan lo,bro. Kasian. Nggak malu lo diliat banyak orang waktu kasarin cewe?”

“Jangan ikut campur anjing! Dia cewe gue. Minggir lo!” Krisna mendorong Raja membuat pemuda itu mundur beberapa langkah.

“Nggak, gue bukan cewe lo lagi bangsat!” Tolak Ratu mentah-mentah. “Mas, tolongin.”

Melihat Ratu memohon seperti itu tentu saja Raja tidak akan membiarkan Krisna pergi membawa majikannya.

Bagaimana pun Ratu adalah tanggung jawabnya. Tidak mungkin dia membiarkan Ratu dibawa pergi oleh Krisna.

“Cewe lo nggak mau dibawa pergi,” ucap Raja mencoba untuk menurunkan emosinya. “Jangan paksa dia. Selesaikan baik-baik kalo memang kalian ada masalah. Apalagi kejadian tadi bisa bahaya banget,tolol!”

“Udah gue bilang bukan urusan lo,Anjing!”

bugh!

“Krisna lo gila?!” pekik Ratu tidak percaya.

Krisna ternyata mulai memukul Raja lebih dulu. Membuat sudut bibir Raja terluka. Tidak ada yang membantu. Orang-orang yang ada disekitar kejadian hanya memperhatikan kedua pemuda yang terlihat akan baku hantam menunjukkan kehebatan mereka.

bugh! Raja tidak tinggal diam. Emosinya sudah naik ke atas kepala. Ditariknya kerah baju Krisna yang tersungkur karena satu bogem mentahnya. Kemudian Raja kembali memukul wajah tampan kekasih sang majikan.

“Cowo bangsat lo!” Maki Raja menduduki perut Krisna dan memukul wajah pemuda itu berulang kali. “Anjing! mati lo anjing!”

“Mas Raja stop!” Ratu mencoba melerai. Tapi gagal. Raja seperti orang kesetanan memukuli Krisna yang babak belur. Tak sanggup melawan Raja yang tenaganya jauh lebih kuat.

Melihat kondisi yang semakin mencekam. Akhirnya beberapa orang pun membantu Ratu untuk melerai Raja dan Krisna. Dua orang pengendara gojek membantu memegang Krisna. Sementara Raja dipegang oleh dua orang lainnya pula.

“Miskin nggak tau diri lo!” teriak Krisna memaki Raja. “Lo cuma supir,njing!”

“Mulut lo sini gue sobek bajingan! Baru tau gue ada cowo kelakuan lebih dari anjing kaya lo!” balas Raja memberontak ingin kembali menghajar Krisna. “Ratu nggak pantes sama cowo biadab kaya lo,anjing!”

“Raja,udah. Stop!”

Ratu berdiri di depannya. Memegang bahu Raja, menenangkan pria itu.

“Cewe lonte kaya dia banyak di pinggir jalan, bangsat! Lo tinggal pake aja kalo mau, segelnya udah gue buka. Dia nggak bakal nolak kalo lo kasih burung lo. Gatel lo emang,Ra!” Teriak Krisna sambil tertawa seperti setan.

Seketika itu juga Ratu langsung berbalik menghadap Krisna. Hatinya benar-benar sakit. Dipermalukan di depan umum seperti ini adalah hal yang sangat menyakitkan. Hingga tanpa terasa airmatanya merembes turun membasahi kedua pipinya.

“Udah puas? Udah puas ngatain gue?” lirih Ratu menghapus airmatanya.

Melihat hal itu entah kenapa semakin membuat Raja marah. Memberontak kuat sampai kedua tangan orang yang melerainya terlepas. Raja pun langsung menghampiri Krisna, menarik pemuda tersebut dan kembali memukulnya dengan brutal.

Dia tidak peduli akan dituntut oleh Krisna setelah ini. Tidak peduli jika Krisna akan sekarat karena ulahnya.

Saat ini membalas sakit hati Ratu adalah hal yang paling utama.

Dada Raja pun ikut merasakan sesak mendengar ucapan Krisna tadi.


“Halo mas Raja. Mau jemput mbak Ratu,ya?” tanya pak Deden, satpam di rumah mewah Ratu. Menyambut Raja dengan senyum lebar sembari membuka pintu pagar kecil yang hanya bisa dilewati satu honda.

Baru saja tiba. Raja turun dari motor sembari melepas helm di atas kepalanya. Menyibak rambut hitam legam yang menutupi keningnya ke belakang.

“Halo pak Deden. Mbak Ratu ada di dalam kan?” Raja menyapa balik dengan keramahan seperti biasa.

“Ada kok. Mau berangkat ke kampus,ya?”

“Iya,Pak.”

“Kalo gitu langsung masukin aja motor mas Raja ke dalam garasi.”

“Gak perlu,Pak. Mbak Ratu pengen naik motor hari ini. Bosen naik mobil mewah katanya.”

“Oalah, yaudah kalo gitu hati-hati yo mas. Jangan sampe lecet anak bungsu si papi,” kata pak Deden sambil tertawa kecil.

Tak berselang lama Ratu pun datang. Menyandang tas di punggungnya. Sudah rapi dengan stelan kemeja yang dimasukkan sebagian dipadukan celana Jeans hitam dan sepatu berwarna putih.

Saat Ratu berjalan ke arah Raja, pria itu terdiam, berdiri mematung hanya fokus menatap satu titik, Ratu. Belum lagi hidungnya yang kembang kempis menghirup aroma parfum Ratu yang menyegarkan. Sangat feminim, menggambarkan kepribadian seorang Ratu sekali di mata Raja.

“Mas Raja udah lama nunggu?” tanyanya selalu sopan.

“Belum kok,mbak. Baru aja tiba.”

“Berangkat sekarang?”

“Ayo, kalo mbak Ratu udah siap.”


Di perjalanan pulang dari kampus Ratu terlihat sangat menikmati kegiatan motorannya bersama Raja. Di tangannya memegang setangkai gulali yang tadi dia beli di depan kampus.

Raja dapat melihat dengan jelas wajah riang Ratu dari spion motor beat nya. Dia tebak jika hal seperti ini baru pertama kali Ratu lakukan.

“Mbak suka motoran?” Raja bertanya dengan suara keras. Sesekali menoleh ke belakang melihat Ratu yang menganggukkan kepala.

“Suka,Mas. Saya udah lama gak motoran semenjak kakak saya kuliah di Bandung,” kata Ratu menjawab dengan suara tak kalah keras. “Biasanya sama kakak saya suka diajakin motoran kalo lagi libur atau cari cemilan malam-malam.”

“Oh,gitu. Besok-besok mau naik motor lagi gak,mbak?”

“Mau. Boleh kalo mas Raja gak keberatan.”

“Yaudah, entar kapan-kapan kita pergi ke kampus naik motor lagi ya,mbak.”

“Iya,mas.”

Ratu melanjutkan kegiatan memakan gulalinya di atas motor, di bonceng sang supir. Tangan kanannya meremas jaket denim di bagian pinggang Raja, menjadikannya sebagai tempat bergantung agar tidak jatuh, tertinggal di jalan raya. Sedang tangan kirinya memegang tangkai gulali yang masih cukup besar.

Tanpa disadari bibir Raja tertarik kedua sudutnya ke atas menunjukkan kurva senyum manis, mencuri pandang ke arah belakang melalui kaca spion. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.

Ibarat Ratu adalah kutub utara sebuah magnet. Sedangkan Raja adalah kutub selatan sebuah magnet. Sehingga keadaan mereka sekarang ini terlihat seperti sedang tarik menarik. Raja memandang Ratu diam-diam. Begitupun Ratu melakukan hal sama tanpa sepengetahuan Raja yang fokus membawa motor.

Saat di persimpangan jalan menuju ke rumah Ratu. Tiba-tiba saja satu buah mobil pajero putih menyenggol mereka. Mengakibatkan kedua orang yang di atas motor tersebut jatuh tersungkur di atas aspal.

Raja masih bisa menahan tubuhnya dan motor beat merahnya. Sementara Ratu yang tidak mengetahui akan terjadi hal itu pun langsung terjatuh. Menyebabkan gulalinya terjatuh dan lututnya berdarah akibat bergesekan dengan aspal.

“Mbak!” Panggil Raja panik, berlari mendekati Ratu yang meringis mengeluarkan tisu dari dalam tas untuk menutupi lukanya yang berdarah segar.

“Mas Raja nggak apa-apa?” tanyanya.

“Saya nggak apa-apa. Malah mbak yang jadi luka-luka kaya gini. Kalo bapak tahu mbak Ratu jatuh dari motor, saya bisa dipecat ini.” Kata Raja cemas membantu Ratu untuk berdiri.

Disekitar mereka sudah ramai oleh pengendara lainnya. Mobil pajero yang menyenggol mereka masih terparkir di sana, tak jauh dari motor Raja.

“Nggak apa, nanti diobati di rumah.”

Raja memapah Ratu ke pinggiran trotoar. Mendudukkan sang majikan terlebih dahulu sebelum bertemu dengan si pengemudi pajero sialan yang menyenggol mereka.

“Turun anjing!” Teriak Raja memukul keras kaca depan mobil pajero dengan helmnya. Meminta pada si pengemudi untuk turun bertemu dengan dirinya.

Dalam keadaan emosi Raja terus memukul kaca mobil pajero tersebut sampai akhirnya seorang pemuda turun dengan santainya. Menatap Raja sebentar, kemudian berjalan memutar ke belakang mobil untuk menghampiri Ratu yang sedang meniup-niup luka dilutunya.

“Pulang sama aku!” Kata pemuda yang turun dari pajero tadi menarik lengan Ratu dengan keras hingga perempuan itu berdiri dan meringis.

“Aw! Apa-apaan sih lo! Lo mau bikin gue mati?” Bentak Ratu setelah mengetahui siapa oknum yang melakukan penyenggolan pada motor Raja.

Krisna, mantan kekasih gilanya.

“Pulang sama aku!” Kata Krisna menarik Ratu ke arah mobilnya. Mengabaikan penolakan yang dilakukan oleh perempuan itu.

“Woi, santi bro!” Cegat Raja menahan lengan Krisna yang mencengkram pergelangan tangan Ratu.

“Lo lagi!” seru Krisna mengangkat dagu angkuh seakan menantang Raja.

“Lepasin tangan lo,bro. Kasian. Nggak malu lo diliat banyak orang waktu kasarin cewe?”

“Jangan ikut campur anjing! Dia cewe gue. Minggir lo!” Krisna mendorong Raja membuat pemuda itu mundur beberapa langkah.

“Nggak, gue bukan cewe lo lagi bangsat!” Tolak Ratu mentah-mentah. “Mas, tolongin.”

Melihat Ratu memohon seperti itu tentu saja Raja tidak akan membiarkan Krisna pergi membawa majikannya.

Bagaimana pun Ratu adalah tanggung jawabnya. Tidak mungkin dia membiarkan Ratu dibawa pergi oleh Krisna.

“Cewe lo nggak mau dibawa pergi,” ucap Raja mencoba untuk menurunkan emosinya. “Jangan paksa dia.”

“Udah gue bilang bukan urusan lo,Anjing!”

bugh!

“Krisna lo gila?!” pekik Ratu tidak percaya.

Krisna ternyata mulai memukul Raja lebih dulu. Membuat sudut bibir Raja terluka. Tidak ada yang membantu. Orang-orang yang ada disekitar kejadian hanya

“Halo mas Raja. Mau jemput mbak Ratu,ya?” tanya pak Deden, satpam di rumah mewah Ratu. Menyambut Raja dengan senyum lebar sembari membuka pintu pagar kecil yang hanya bisa dilewati satu honda.

Baru saja tiba. Raja turun dari motor sembari melepas helm di atas kepalanya. Menyibak rambut hitam legam yang menutupi keningnya ke belakang.

“Halo pak Deden. Mbak Ratu ada di dalam kan?” Raja menyapa balik dengan keramahan seperti biasa.

“Ada kok. Mau berangkat ke kampus,ya?”

“Iya,Pak.”

“Kalo gitu langsung masukin aja motor mas Raja ke dalam garasi.”

“Gak perlu,Pak. Mbak Ratu pengen naik motor hari ini. Bosen naik mobil mewah katanya.”

“Oalah, yaudah kalo gitu hati-hati yo mas. Jangan sampe lecet anak bungsu si papi,” kata pak Deden sambil tertawa kecil.

Tak berselang lama Ratu pun datang. Menyandang tas di punggungnya. Sudah rapi dengan stelan kemeja yang dimasukkan sebagian dipadukan celana Jeans hitam dan sepatu berwarna putih.

Saat Ratu berjalan ke Raja, pria itu terdiam, berdiri mematung hanya fokus menatap satu titik fokus. Belum lagi hidungnya yang kembang kempis menghirup aroma parfum Ratu yang menyegarkan. Sangat feminim, menggambarkan kepribadian seorang Ratu sekali.

“Mas Raja udah lama?”

“Belum kok,mbak. Baru aja tiba.”

“Berangkat sekarang?”

“Ayo, kalo mbak Ratu udah siap.”


“Halo mas Raja. Mau jemput mbak Ratu,ya?” tanya pak Deden, satpam di rumah mewah Ratu. Menyambut Raja dengan senyum lebar sembari membuka pintu pagar kecil yang hanya bisa dilewati satu honda.

Baru saja tiba. Raja turun dari motor sembari melepas helm di atas kepalanya. Menyibak rambut hitam legam yang menutupi keningnya.

“Halo pak Deden. Mbak Ratu ada di dalam kan?” Raja menyapa balik dengan keramahan seperti biasa.

“Ada kok. Mau berangkat ke kampus,ya?”

“Iya,Pak.”

“Kalo gitu langsung masukin aja motor mas Raja ke dalam garasi.”

“Gak perlu,Pak. Mbak Ratu pengen naik motor hari ini. Bosen naik mobil mewah katanya.”

Mobil CR-V berwarna hitam baru saja tiba dikediaman Dirgantara, langsung terparkir di depan garasi tepat di samping mobil pajero putih milik seseorang yang Dirga kenal.

Isi kepalanya seakan mulai mendidih saat menemukan presensi Raja dan Nala yang duduk berdampingan di kursi ruang tamu, ditemani kedua orang tuanya.

Tanpa melontarkan kalimat basa-basi sama sekali, Dirga yang kepalang emosi pun langsung menghampiri Raja, menarik kerah baju yang digunakan pria itu dan melayangkan satu tinju tepat ke sisi wajahnya hingga jatuh terduduk kembali di sofa.

“Dirga!” Nala ikut memekik menahan tangan Dirga agar menghentikan aksi gilanya pada calon suaminya.

“Anjing lo,Ja!” Maki Dirga kembali menarik Raja. “Baru kali ini gue ketemu orang seanjing lo,Raja!” Bentak Dirga dengan serius.

“Dirga!” Teriak pak Sadewa, papinya. “Jaga sikap kau! Jangan sok hebat kau. Duduk!”

Namun sayangnya Dirga tak mengindahkan gaungan sang ayah dan terus ingin memukul Raja, menarik pria itu dari duduknya hingga mereka sama-sama berdiri dan saling menarik kerah baju-baju masing-masing.

“Lo ngatain gue anjing. Padahal lo lebih anjing, Dirgantara! Lo gak lebih baik dari gue!” ucap Raja ikut tersulut emosi.

“Bacot lo!” Teriak Dirga di depan wajah Raja yang mulai mengeras menahan emosi. “Kalo lo mau tanggungjawab. Gue sama Maharani gak akan sampai kaya gini,njing! Puas lo hancurin kebahagiaan adek lo,hah?!”

“Dirga,lepasin!” Kata Nala yang semula duduk, akhirnya ikut berdiri demi melerai dua pria yang terlihat akan kembali adu kehebatan tinju.

“Diem lo,La!” Bentak Dirga menoleh pada Nala yang bungkam karena kaget dengan suara keras Dirga.

“Pi,” Bu Anggi pun ikut terlihat khawatir melihat anaknya yang akan memukul Raja. “Lerai dong anaknya. Gimana,sih?”

“Biarin aja,Mi. Cowo-cowo memang seperti itu kalo menyelesaikan masalah,” ujar pak Sadewa santai melihat dua pemuda yang tengah melakukan aksi pukul. Mengangkat cangkir berisi kopi hitamnya, lalu menonton aksi dua pemuda yang tengah bergulat di tengah ruang tamu tersebut.

Baru akan berhenti menunjukkan kehebatan tinju masing-masing setelah keduanya sama-sama memar.

Mungkin...


“Jadi, apa maksud kedatangan Raja ke sini untuk bertemu dengan Om?” Tanya pak Sadewa pada Raja yang sudah terduduk di samping Nala dengan wajah memar karena ulah Dirga.

Di seberang posisi Raja dan Nala pun Dirga dalam keadaan sama. Memar di sisi wajahnya dan pelipis membengkak terkena pukulan Raja.

Duduk dengan ekspresi datar menatap lurus ke arah Raja dan Nala menyalurkan tatapan benci.

“Maksud saya datang ke sini ingin meminta maaf pada om dan tante atas kekacauan yang terjadi,” ungkapnya menatap pasangan suami istri itu bergantian. “Anak yang dikandung Kenala bukanlah anak Dirga. Melainkan calon anak saya dan Kenala.”

Tarikan nafas lega pasangan suami istri itu pun terlihat. Rasanya dada mereka plong, seakan ikatan tali kuat selama ini mulai mengendur dan terlepas. Ada perasaan senang saat mereka mengetahui jika bukan anak mereka yang telah menghamili wanita di samping Raja.

“Awalnya kami sangat kecewa dengan kejadian yang sedang terjadi ini,” ucap Sadewa. “Tak dapat dipungkiri om sangat marah atas sikap kau yang menyebabkan banyak kerugian pada semua orang ,Ja. Terutama hubungan baik yang keluarga kita telah jalin.”

“Maaf om. Saya benar-benar minta maaf.”

“Sekarang aja lo mau minta maaf,njing! Telat bego!” Sambung Dirga masih terselimuti emosi.

“Ga, udah!” Sela Anggi menahan putranya.

Sadewa menggelengkan kepala pelan sambil membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun dari tulang hidungnya.

“Jadi, apa yang mau kau buat sekarang?” Tanyanya pada Raja.

“Saya akan menikahi Kenala,Om. Menggantikan Dirga. Segala biaya yang sudah Om keluarkan untuk persiapan pernikahan Dirga akan saya ganti,” ucapnya tegas menggenggam satu tangan Nala.

Di depannya Dirga menarik sebelah sudut bibirnya. Tertawa miris melihat keadaan yang terjadi saat ini.

Dengan gampangnya Raja mencoba menyelesaikan masalah dengan bertanggungjawab pada Nala. Sementara hubungan dia dan Maharani belum tentu bisa kembali seperti semula.

Kepercayaan gadis itu hancur berkeping-keping. Sulit disatukan kembali walaupun Dirga berusaha untuk mencoba melakukannya.


Di sinilah Maharani duduk, di atas kursi kayu bersebelahan dengan bunda Dewi. Menatap lurus ke depan, menyaksikan sang kakak yang tengah mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan nafas.

“Ananda Septian Maharaja bin Putra Mahadewa, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Kenala Hansa binti Bambang dengan maskawinnya berupa cinci emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Saya terima nikah dan kawinnya Kenala Hansa binti Bambang dengan maskawinnya berupa cincin emas dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!”

“Sah?”

“Sah!”

Semua orang yang hadir pada pagi ini tampak bernafas lega setelah Raja dengan lancar tanpa pengulangan berhasil mengucapkan ijab. Telah resmi menyandang status sebagai suami Kenala. Wanita cantik yang saat ini tengah mencium tangan Raja.

Dua hari yang lalu mereka datang, menemui bunda dan dirinya. Meminta izin untuk menikahi Kenala, mempertanggungjawabkan perbuatannya pada wanita itu.

“Bun, Raja mau izin sama bunda. Raja mau menikah dengan Kenala. Tapi sebelum itu Raja mau minta maaf. Raja udah hamilin Nala dan sempat minta ke Nala buat gugurin anak itu. Raja udah kabur dari masalah dan malah buat masalah baru.”

Tertangkap jelas raut penyesalan di wajah Raja ketika pria itu mulai bersuara. Menoleh pada sang adik, namun malah diacuhkan oleh gadis itu. Masih ada rasa kecewa itu hingga Maharani pun enggan untuk berada di ruangan yang sama dengan Raja dan Kenala jika tidak dipaksa oleh sang bunda untuk pulang.

“Dek,” panggil Raja dengan suara lirih.

“Gak perlu izin gue,” sanggahnya. “Lo nikah aja. Tanggungjawab atas anak lo. Kasian nanti anak lo. Dari dalam kandungan hidupnya udah kesiksa jadi alat ibunya buat ngerusak hidup orang. Gue mah gampang. Gue bisa urus hidup gue sendiri.”

Maharani menahan sesak. Tangannya digenggam oleh sang bunda. Seorang ibu pasti tahu apa yang dirasakan oleh anaknya walau pun mulutnya tak melontarkan kata apa-apa.

“Bunda merestui. Awalnya bunda sempat kecewa atas kejadian yang menimpa kalian. Dan bunda tahu Kenala pernah selingkuh sama Dirga di belakang Rani.” Bibir bunda mengulas senyum keibuan. Tangannya bergerak mengusap lengan putrinya. “Kak, jangan diulangi sikap seperti itu. Ayah pasti akan marah besar kalo tahu anaknya gak bertanggungjawab seperti itu. Bayangin kalo posisi Kenala terjadi sama adik kamu. Apa kamu mau?”

“Enggak,Bun.”

“Yang lalu biarkanlah menjadi masa lalu. Tidak akan ada yang bisa dirubah. Sekarang kamu mulai perbaiki diri dan berubah jadi lebih baik. Bunda cukup senang karena kamu mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab. Dosa loh kak kalo kamu minta Kenala buat gugurin kandungan. Anak kalian gak salah. Dia gak minta untuk hadir di dalam perut ibunya,” jelas Bunda Dewi dengan pandangan teduhnya. Melirik Kenala yang menundukkan kepala sembari mengusap pipinya yang basah. “Bunda bantu siapin pernikahan kalian. Segera lakuin niat baik kamu,Kak.”

“Baik,Bun.”

“Orang tua Kenala di mana?” Tanya bunda Dewi.

“Kenala yatim piatu,Bun.” Raja menjawab. “Selama ini Kenala tinggal sama keluarga pamannya di Medan.”

“Udah selesaikan?” Sela Rani sebelum Raja mulai kembali bersuara. “Boleh Rani permisi masuk ke kamar?”

“Dek,” tegur bunda saat putrinya akan bangkit dari duduknya.

“Rani capek. Mau istirahat.”

Maharani berjalan ke arah pasangan yang baru beberapa menit lalu menjadi sepasang suami istri. Mengulurkan tangan ke arah wanita yang menggandeng lengan Raja,kakaknya.

“Selamat,” ucap Maharani tanpa senyuman. “Kalo Raja gak mau tanggung jawab pasti hari ini lo bakal nikah sama Dirga.”

Kenala tersenyum kikuk menerima jabat tangan adik iparnya. “Makasih, Rani. Maafin gue yang udah hancurin hubungan lo sama Dirga.”

“Gue udah maafin. Tapi gue gak bakal lupain semua kejadian itu.” Maharani melirik sang kakak yang menatapnya dalam diam. “Semoga bahagia buat lo berdua. Tapi tolong jangan pamer kebahagiaan di depan gue. Dan untuk lo,Kak. Stop kirimin gue uang. Fokus aja sama rumah tangga lo. Gue bisa urus diri gue sendiri.”

“Kakak bakal tetap urusin kamu. Kamu masih tanggung jawab kakak.” Kata Raja membuat Maharani muak.

“Ijin dulu ke bini lo.”

Setelah itu Maharani berbalik ke belakang. Pergi dari hadapan Raja dan Kenala. Secara tak sengaja hampir menabrak tubuh tegap seseorang di depannya.

Dirga...

Pria dengan pakaian batik dan celana kulot hitam itu itu berdiri di depannya.

“Boleh aku ngomong sama kamu? Berdua. Sebentar. Gak sampai 15 menit.”

“Enggak. Gue lagi gak mood mau ngomong sama siapa pun hari ini. Minggir lo!”

“Ran...”

“Minggir atau mau gue tonjok muka sialan lo?!”

Dirga mengalah. Mundur,memberikan jalan pada Maharani yang berlalu meninggalkan tempat resepsi. Dari kejauhan dilihatnya punggung kecil itu bergetar dan tangan gadis itu bergerak ke arah wajah yang bisa Dirga pastikan jika Maharani sedang mengusap airmata.

Dia sedang menangis.

Mobil CR-V berwarna hitam baru saja tiba dikediaman Dirgantara, langsung terparkir di depan garasi tepat di samping mobil pajero putih milik seseorang yang Dirga kenal.

Isi kepalanya seakan mulai mendidih saat menemukan presensi Raja dan Nala yang duduk berdampingan di kursi ruang tamu, ditemani kedua orang tuanya.

Tanpa melontarkan kalimat basa-basi sama sekali, Dirga yang kepalang emosi pun langsung menghampiri Raja, menarik kerah baju yang digunakan pria itu dan melayangkan satu tinju tepat ke sisi wajahnya hingga jatuh terduduk kembali di sofa.

“Dirga!” Nala ikut memekik menahan tangan Dirga agar menghentikan aksi gilanya pada calon suaminya.

“Anjing lo,Ja!” Maki Dirga kembali menarik Raja. “Baru kali ini gue ketemu orang seanjing lo,Raja!” Bentak Dirga dengan serius.

“Dirga!” Teriak pak Sadewa, papinya. “Jaga sikap kau! Jangan sok hebat kau. Duduk!”

Namun sayangnya Dirga tak mengindahkan gaungan sang ayah dan terus ingin memukul Raja, menarik pria itu dari duduknya hingga mereka sama-sama berdiri dan saling menarik kerah baju-baju masing-masing.

“Lo ngatain gue anjing. Padahal lo lebih anjing, Dirgantara! Lo gak lebih baik dari gue!” ucap Raja ikut tersulut emosi.

“Bacot lo!” Teriak Dirga di depan wajah Raja yang mulai mengeras menahan emosi. “Kalo lo mau tanggungjawab. Gue sama Maharani gak akan sampai kaya gini,njing! Puas lo hancurin kebahagiaan adek lo,hah?!”

“Dirga,lepasin!” Kata Nala yang semula duduk, akhirnya ikut berdiri demi melerai dua pria yang terlihat akan kembali adu kehebatan tinju.

“Diem lo,La!” Bentak Dirga menoleh pada Nala yang bungkam karena kaget dengan suara keras Dirga.

“Pi,” Bu Anggi pun ikut terlihat khawatir melihat anaknya yang akan memukul Raja. “Lerai dong anaknya. Gimana,sih?”

“Biarin aja,Mi. Cowo-cowo memang seperti itu kalo menyelesaikan masalah,” ujar pak Sadewa santai melihat dua pemuda yang tengah melakukan aksi pukul. Mengangkat cangkir berisi kopi hitamnya, lalu menonton aksi dua pemuda yang tengah bergulat di tengah ruang tamu tersebut.

Baru akan berhenti menunjukkan kehebatan tinju masing-masing setelah keduanya sama-sama memar.

Mungkin...


“Jadi, apa maksud kedatangan Raja ke sini untuk bertemu dengan Om?” Tanya pak Sadewa pada Raja yang sudah terduduk di samping Nala dengan wajah memar karena ulah Dirga.

Di seberang posisi Raja dan Nala pun Dirga dalam keadaan sama. Memar di sisi wajahnya dan pelipis membengkak terkena pukulan Raja.

Duduk dengan ekspresi datar menatap lurus ke arah Raja dan Nala menyalurkan tatapan benci.

“Maksud saya datang ke sini ingin meminta maaf pada om dan tante atas kekacauan yang terjadi,” ungkapnya menatap pasangan suami istri itu bergantian. “Anak yang dikandung Kenala bukanlah anak Dirga. Melainkan calon anak saya dan Kenala.”

Tarikan nafas lega pasangan suami istri itu pun terlihat. Rasanya dada mereka plong, seakan ikatan tali kuat selama ini mulai mengendur dan terlepas. Ada perasaan senang saat mereka mengetahui jika bukan anak mereka yang telah menghamili wanita di samping Raja.

“Awalnya kami sangat kecewa dengan kejadian yang sedang terjadi ini,” ucap Sadewa. “Tak dapat dipungkiri om sangat marah atas sikap kau yang menyebabkan banyak kerugian pada semua orang ,Ja. Terutama hubungan baik yang keluarga kita telah jalin.”

“Maaf om. Saya benar-benar minta maaf.”

“Sekarang aja lo mau minta maaf,njing! Telat bego!” Sambung Dirga masih terselimuti emosi.

“Ga, udah!” Sela Anggi menahan putranya.

Sadewa menggelengkan kepala pelan sambil membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun dari tulang hidungnya.

“Jadi, apa yang mau kau buat sekarang?” Tanyanya pada Raja.

“Saya akan menikahi Kenala,Om. Menggantikan Dirga. Segala biaya yang sudah Om keluarkan untuk persiapan pernikahan Dirga akan saya ganti,” ucapnya tegas menggenggam satu tangan Nala.

Di depannya Dirga menarik sebelah sudut bibirnya. Tertawa miris melihat keadaan yang terjadi saat ini.

Dengan gampangnya Raja mencoba menyelesaikan masalah dengan bertanggungjawab pada Nala. Sementara hubungan dia dan Maharani belum tentu bisa kembali seperti semula.

Kepercayaan gadis itu hancur berkeping-keping. Sulit disatukan kembali walaupun Dirga berusaha untuk mencoba melakukannya.


Di sinilah

Mobil CR-V berwarna hitam baru saja tiba dikediaman Dirgantara, langsung terparkir di depan garasi tepat di samping mobil pajero putih milik seseorang yang Dirga kenal.

Isi kepalanya seakan mulai mendidih saat menemukan presensi Raja dan Nala yang duduk berdampingan di kursi ruang tamu, ditemani kedua orang tuanya.

Tanpa melontarkan kalimat basa-basi sama sekali, Dirga yang kepalang emosi pun langsung menghampiri Raja, menarik kerah baju yang digunakan pria itu dan melayangkan satu tinju tepat ke sisi wajahnya hingga jatuh terduduk kembali di sofa.

“Dirga!” Nala ikut memekik menahan tangan Dirga agar menghentikan aksi gilanya pada calon suaminya.

“Anjing lo,Ja!” Maki Dirga kembali menarik Raja. “Baru kali ini gue ketemu orang seanjing lo,Raja!” Bentak Dirga dengan serius.

“Dirga!” Teriak pak Sadewa, papinya. “Jaga sikap kau! Jangan sok hebat kau. Duduk!”

Namun sayangnya Dirga tak mengindahkan gaungan sang ayah dan terus ingin memukul Raja, menarik pria itu dari duduknya hingga mereka sama-sama berdiri dan saling menarik kerah baju-baju masing-masing.

“Lo ngatain gue anjing. Padahal lo lebih anjing, Dirgantara! Lo gak lebih baik dari gue!” ucap Raja ikut tersulut emosi.

“Bacot lo!” Teriak Dirga di depan wajah Raja yang mulai mengeras menahan emosi. “Kalo lo mau tanggungjawab. Gue sama Maharani gak akan sampai kaya gini,njing! Puas lo hancurin kebahagiaan adek lo,hah?!”

“Dirga,lepasin!” Kata Nala yang semula duduk, akhirnya ikut berdiri demi melerai dua pria yang terlihat akan kembali adu kehebatan tinju.

“Diem lo,La!” Bentak Dirga menoleh pada Nala yang bungkam karena kaget dengan suara keras Dirga.

“Pi,” Bu Anggi pun ikut terlihat khawatir melihat anaknya yang akan memukul Raja. “Lerai dong anaknya. Gimana,sih?”

“Biarin aja,Mi. Cowo-cowo memang seperti itu kalo menyelesaikan masalah,” ujar pak Sadewa santai melihat dua pemuda yang tengah melakukan aksi pukul. Mengangkat cangkir berisi kopi hitamnya, lalu menonton aksi dua pemuda yang tengah bergulat di tengah ruang tamu tersebut.


Mobil CR-V berwarna hitam baru saja tiba dikediaman Dirgantara, langsung terparkir di depan garasi tepat di samping mobil pajero putih milik seseorang yang Dirga kenal.

Isi kepalanya seakan mulai mendidih saat menemukan presensi Raja dan Nala yang duduk berdampingan di kursi ruang tamu, ditemani kedua orang tuanya.

Tanpa melontarkan kalimat basa-basi sama sekali, Dirga yang kepalang emosi pun langsung menghampiri Raja, menarik kerah baju yang digunakan pria itu dan melayangkan satu tinju tepat ke sisi wajahnya hingga jatuh terduduk kembali di sofa.

“Dirga!” Nala ikut memekik menahan tangan Dirga agar menghentikan aksi gilanya pada calon suaminya.

“Anjing lo,Ja!” Maki Dirga kembali menarik Raja. “Baru kali ini gue ketemu orang seanjing lo,Raja!” Bentak Dirga dengan serius.

“Dirga!” Teriak pak Sadewa, papinya. “Jaga sikap kau! Jangan sok hebat kau. Duduk!”

Namun sayangnya Dirga tak mengindahkan gaungan sang ayah dan terus ingin memukul Raja, menarik pria itu dari duduknya hingga mereka sama-sama berdiri dan saling menarik kerah baju-baju masing-masing.

“Lo ngatain gue anjing. Padahal lo lebih anjing, Dirgantara! Lo gak lebih baik dari gue!” ucap Raja ikut tersulut emosi.

“Bacot lo!” Teriak Dirga di depan wajah Raja yang mulai mengeras menahan emosi. “Kalo lo mau tanggungjawab. Gue sama Maharani gak akan sampai kaya gini,njing! Puas lo hancurin kebahagiaan adek lo,hah?!”

“Dirga,lepasin!” Kata Nala yang semula duduk, akhirnya ikut berdiri demi melerai dua pria yang terlihat akan kembali adu kehebatan tinju.

“Diem lo,La!” Bentak Dirga menoleh pada Nala yang bungkam karena kaget dengan suara keras Dirga.

“Pi,” Bu Anggi pun ikut terlihat khawatir melihat anaknya yang akan memukul Raja. “Lerai dong anaknya. Gimana,sih?”

“Biarin aja,Mi. Cowo-cowo memang seperti itu kalo menyelesaikan masalah,” ujar pak Sadewa santai melihat dua pemuda yang tengah melakukan aksi pukul. Mengangkat cangkir berisi kopi hitamnya, lalu menonton aksi dua pemuda yang tengah bergulat di tengah ruang tamu tersebut.

___

Permintaan maaf

“Kamu udah bangun?”

Laki-laki itu bertanya saat melihat Maharani mencoba untuk menjangkau botol air minum di atas meja samping kasurnya. Memberikan ke tangan gadis yang hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi apapun padanya. Memilih duduk dipinggir kasur yang ditempati oleh Maharani. Terus menunjukkan tatapan dalam walau tidak digubris oleh gadis di depannya yang kembali mencoba untuk berbaring.

Rindu serindunya Dirga pada gadis ya g menarik selimutnya untuk kembali mencoba tidur. Tak mengeluarkan suara apapun, bahkan lebih parahnya lagi seperti tak menganggap kehadiran Dirga yang diam mematung dengan hati yang terasa sesak.

“Maharani, boleh aku ngomong?” Dirga bertanya sambil memegang bahu gadis yang memunggunginya saat ini. Tengah memejamkan mata dan tak berniat untuk merespon Dirga.

Berpura-pura tidur adalah solusi yang tepat untuk menghindari obrolan bersama Dirga untuk sekarang. Rasanya memang masih sulit untuk berdamai dengan keadaan. Melihat Dirga hanya akan membuatnya kesal sekaligus sedih.

“Kalo kamu nggak mau ngomong sama aku nggak masalah. Nggak mau liat muka aku juga nggak masalah. Yang penting kamu dengerin aja apa yang bakal aku bilang,” seloroh Dirga dengan senyum tapi terpaksa. Dan tangannya pun masih mengusap lengan Maharani dengan lembut.

“Sebelumnya aku bakal tetap minta maaf sama kamu. Aku tahu kalo aku bener-bener berengsek. Nggak peduli kamu mau maafin aku atau nggak. Di sini aku cuma mau bilang kalo aku nggak akan pernah tinggalin kamu. Aku bakal tunggu kamu sampai bisa maafin aku sepenuhnya. Aku bakal anggap ini semua adalah hukuman buat aku. Nahan rindu ke kamu adalah hukuman terberat buat aku saat ini,” jelas Dirga dengan suara lembutnya. Beberapa kali juga dia terdengar menarik nafas dalam dan menghembuskan secara kasar.

“Aku nggak akan pergi dari hidup kamu. Aku bakal tetap bertahan sampai kamu nyuruh aku buat pergi. Kata putus itu nggak berarti apa-apa buat aku. Aku cuma maunya ka—”

“Silahkan pergi,” cela Maharani lirih tanpa menoleh sama sekali ke arah Dirga. “Silahkan pergi sejauh mungkin,Dirga. Kita akhiri aja semuanya,” jeda gadis itu menyeka bulir liquid bening diam-diam tanpa sepengetahuan pria yang duduk mematung di belakangnya. “Hubungan kita memang udah berakhir sejak lo berhubungan lagi dengan Nala. Jadi tolong lo pergi aja, Ga! Jangan pernah ganggu gue.”

“Ran...”

“Pergi anjing! Lo tuli,hah?!”

Puncak amarah gadis itu tak lagi bisa ia bendung di depan sang mantan kekasih. Pertahanannya runtuh. Airmatanya pun akhirnya mengalir tepat dihadapan pria yang menyakitinya.

Rasa sesak yang menggerogoti dadanya selama ini pun tak mampu lagi ia tahan. Maharani menangis kencang menutup wajahnya. Terisak pilu memanggil ayahnya. Tubuh kecil itu bergetar hebat di dalam selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Suara isakan pilu sakitnya hati Maharani kian terdengar nyaring di dalam kamar rawat inap itu. Menjadi tontonan beberapa orang sampai Dirga akhirnya mengunci pintu kamar tersebut.

“A-ayah,” isaknya mulai meringkuk di atas kasur tersebut.

Semakin Dirga mencoba untuk memegangnya. Maka Maharani akan menangis semakin kencang. Memukul dadanya berulang kali agar rasa sesak itu menghilang dari dalam sana.

Selama hampir tiga tahun mereka bersama. Tepatnya pada hari ini Dirga benar-benar melihat sisi rapuhnya seorang Maharani. Dan itu semua karena ulahnya. Karena kelakuannya yang mungkin tak akan bisa dimaafkan dengan mudah.

“Maafin aku... maafin aku, Maharani.”

Sekeras apapun gadis itu mencoba untuk mengusirnya sekarang. Selangkah pun Dirga tidak akan berniat berjalan ke arah pintu dan meninggalkannya seorang diri.

Pria itu malah semakin mendekati mantan kekasihnya. Memeluk tubuh yang lebih kecil itu walaupun berulang kali dia mendapatkan pukulan di wajah dan dadanya akibat kemarahan gadis itu. Bahkan jarum infus di atas punggung tangan Maharani sampai tercabut akibat dia ingin memberontak saat Dirga menariknya untuk duduk dan memeluknya dengan erat.

Sejak awal Dirga mengatakan jika dia tidak akan pergi. Persetan jika Maharani sekalipun yang memintanya untuk pergi. Dia akan tetap bertahan. Karena gadis itu adalah rumahnya.