Permintaan maaf
Mobil CR-V berwarna hitam baru saja tiba dikediaman Dirgantara, langsung terparkir di depan garasi tepat di samping mobil pajero putih milik seseorang yang Dirga kenal.
Isi kepalanya seakan mulai mendidih saat menemukan presensi Raja dan Nala yang duduk berdampingan di kursi ruang tamu, ditemani kedua orang tuanya.
Tanpa melontarkan kalimat basa-basi sama sekali, Dirga yang kepalang emosi pun langsung menghampiri Raja, menarik kerah baju yang digunakan pria itu dan melayangkan satu tinju tepat ke sisi wajahnya hingga jatuh terduduk kembali di sofa.
“Dirga!” Nala ikut memekik menahan tangan Dirga agar menghentikan aksi gilanya pada calon suaminya.
“Anjing lo,Ja!” Maki Dirga kembali menarik Raja. “Baru kali ini gue ketemu orang seanjing lo,Raja!” Bentak Dirga dengan serius.
“Dirga!” Teriak pak Sadewa, papinya. “Jaga sikap kau! Jangan sok hebat kau. Duduk!”
Namun sayangnya Dirga tak mengindahkan gaungan sang ayah dan terus ingin memukul Raja, menarik pria itu dari duduknya hingga mereka sama-sama berdiri dan saling menarik kerah baju-baju masing-masing.
“Lo ngatain gue anjing. Padahal lo lebih anjing, Dirgantara! Lo gak lebih baik dari gue!” ucap Raja ikut tersulut emosi.
“Bacot lo!” Teriak Dirga di depan wajah Raja yang mulai mengeras menahan emosi. “Kalo lo mau tanggungjawab. Gue sama Maharani gak akan sampai kaya gini,njing! Puas lo hancurin kebahagiaan adek lo,hah?!”
“Dirga,lepasin!” Kata Nala yang semula duduk, akhirnya ikut berdiri demi melerai dua pria yang terlihat akan kembali adu kehebatan tinju.
“Diem lo,La!” Bentak Dirga menoleh pada Nala yang bungkam karena kaget dengan suara keras Dirga.
“Pi,” Bu Anggi pun ikut terlihat khawatir melihat anaknya yang akan memukul Raja. “Lerai dong anaknya. Gimana,sih?”
“Biarin aja,Mi. Cowo-cowo memang seperti itu kalo menyelesaikan masalah,” ujar pak Sadewa santai melihat dua pemuda yang tengah melakukan aksi pukul. Mengangkat cangkir berisi kopi hitamnya, lalu menonton aksi dua pemuda yang tengah bergulat di tengah ruang tamu tersebut.
Baru akan berhenti menunjukkan kehebatan tinju masing-masing setelah keduanya sama-sama memar.
Mungkin...
“Jadi, apa maksud kedatangan Raja ke sini untuk bertemu dengan Om?” Tanya pak Sadewa pada Raja yang sudah terduduk di samping Nala dengan wajah memar karena ulah Dirga.
Di seberang posisi Raja dan Nala pun Dirga dalam keadaan sama. Memar di sisi wajahnya dan pelipis membengkak terkena pukulan Raja.
Duduk dengan ekspresi datar menatap lurus ke arah Raja dan Nala menyalurkan tatapan benci.
“Maksud saya datang ke sini ingin meminta maaf pada om dan tante atas kekacauan yang terjadi,” ungkapnya menatap pasangan suami istri itu bergantian. “Anak yang dikandung Kenala bukanlah anak Dirga. Melainkan calon anak saya dan Kenala.”
Tarikan nafas lega pasangan suami istri itu pun terlihat. Rasanya dada mereka plong, seakan ikatan tali kuat selama ini mulai mengendur dan terlepas. Ada perasaan senang saat mereka mengetahui jika bukan anak mereka yang telah menghamili wanita di samping Raja.
“Awalnya kami sangat kecewa dengan kejadian yang sedang terjadi ini,” ucap Sadewa. “Tak dapat dipungkiri om sangat marah atas sikap kau yang menyebabkan banyak kerugian pada semua orang ,Ja. Terutama hubungan baik yang keluarga kita telah jalin.”
“Maaf om. Saya benar-benar minta maaf.”
“Sekarang aja lo mau minta maaf,njing! Telat bego!” Sambung Dirga masih terselimuti emosi.
“Ga, udah!” Sela Anggi menahan putranya.
Sadewa menggelengkan kepala pelan sambil membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun dari tulang hidungnya.
“Jadi, apa yang mau kau buat sekarang?” Tanyanya pada Raja.
“Saya akan menikahi Kenala,Om. Menggantikan Dirga. Segala biaya yang sudah Om keluarkan untuk persiapan pernikahan Dirga akan saya ganti,” ucapnya tegas menggenggam satu tangan Nala.
Di depannya Dirga menarik sebelah sudut bibirnya. Tertawa miris melihat keadaan yang terjadi saat ini.
Dengan gampangnya Raja mencoba menyelesaikan masalah dengan bertanggungjawab pada Nala. Sementara hubungan dia dan Maharani belum tentu bisa kembali seperti semula.
Kepercayaan gadis itu hancur berkeping-keping. Sulit disatukan kembali walaupun Dirga berusaha untuk mencoba melakukannya.
Di sinilah Maharani duduk, di atas kursi kayu bersebelahan dengan bunda Dewi. Menatap lurus ke depan, menyaksikan sang kakak yang tengah mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan nafas.
“Ananda Septian Maharaja bin Putra Mahadewa, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Kenala Hansa binti Bambang dengan maskawinnya berupa cinci emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Kenala Hansa binti Bambang dengan maskawinnya berupa cincin emas dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!”
“Sah?”
“Sah!”
Semua orang yang hadir pada pagi ini tampak bernafas lega setelah Raja dengan lancar tanpa pengulangan berhasil mengucapkan ijab. Telah resmi menyandang status sebagai suami Kenala. Wanita cantik yang saat ini tengah mencium tangan Raja.
Dua hari yang lalu mereka datang, menemui bunda dan dirinya. Meminta izin untuk menikahi Kenala, mempertanggungjawabkan perbuatannya pada wanita itu.
“Bun, Raja mau izin sama bunda. Raja mau menikah dengan Kenala. Tapi sebelum itu Raja mau minta maaf. Raja udah hamilin Nala dan sempat minta ke Nala buat gugurin anak itu. Raja udah kabur dari masalah dan malah buat masalah baru.”
Tertangkap jelas raut penyesalan di wajah Raja ketika pria itu mulai bersuara. Menoleh pada sang adik, namun malah diacuhkan oleh gadis itu. Masih ada rasa kecewa itu hingga Maharani pun enggan untuk berada di ruangan yang sama dengan Raja dan Kenala jika tidak dipaksa oleh sang bunda untuk pulang.
“Dek,” panggil Raja dengan suara lirih.
“Gak perlu izin gue,” sanggahnya. “Lo nikah aja. Tanggungjawab atas anak lo. Kasian nanti anak lo. Dari dalam kandungan hidupnya udah kesiksa jadi alat ibunya buat ngerusak hidup orang. Gue mah gampang. Gue bisa urus hidup gue sendiri.”
Maharani menahan sesak. Tangannya digenggam oleh sang bunda. Seorang ibu pasti tahu apa yang dirasakan oleh anaknya walau pun mulutnya tak melontarkan kata apa-apa.
“Bunda merestui. Awalnya bunda sempat kecewa atas kejadian yang menimpa kalian. Dan bunda tahu Kenala pernah selingkuh sama Dirga di belakang Rani.” Bibir bunda mengulas senyum keibuan. Tangannya bergerak mengusap lengan putrinya. “Kak, jangan diulangi sikap seperti itu. Ayah pasti akan marah besar kalo tahu anaknya gak bertanggungjawab seperti itu. Bayangin kalo posisi Kenala terjadi sama adik kamu. Apa kamu mau?”
“Enggak,Bun.”
“Yang lalu biarkanlah menjadi masa lalu. Tidak akan ada yang bisa dirubah. Sekarang kamu mulai perbaiki diri dan berubah jadi lebih baik. Bunda cukup senang karena kamu mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab. Dosa loh kak kalo kamu minta Kenala buat gugurin kandungan. Anak kalian gak salah. Dia gak minta untuk hadir di dalam perut ibunya,” jelas Bunda Dewi dengan pandangan teduhnya. Melirik Kenala yang menundukkan kepala sembari mengusap pipinya yang basah. “Bunda bantu siapin pernikahan kalian. Segera lakuin niat baik kamu,Kak.”
“Baik,Bun.”
“Orang tua Kenala di mana?” Tanya bunda Dewi.
“Kenala yatim piatu,Bun.” Raja menjawab. “Selama ini Kenala tinggal sama keluarga pamannya di Medan.”
“Udah selesaikan?” Sela Rani sebelum Raja mulai kembali bersuara. “Boleh Rani permisi masuk ke kamar?”
“Dek,” tegur bunda saat putrinya akan bangkit dari duduknya.
“Rani capek. Mau istirahat.”
Maharani berjalan ke arah pasangan yang baru beberapa menit lalu menjadi sepasang suami istri. Mengulurkan tangan ke arah wanita yang menggandeng lengan Raja,kakaknya.
“Selamat,” ucap Maharani tanpa senyuman. “Kalo Raja gak mau tanggung jawab pasti hari ini lo bakal nikah sama Dirga.”
Kenala tersenyum kikuk menerima jabat tangan adik iparnya. “Makasih, Rani. Maafin gue yang udah hancurin hubungan lo sama Dirga.”
“Gue udah maafin. Tapi gue gak bakal lupain semua kejadian itu.” Maharani melirik sang kakak yang menatapnya dalam diam. “Semoga bahagia buat lo berdua. Tapi tolong jangan pamer kebahagiaan di depan gue. Dan untuk lo,Kak. Stop kirimin gue uang. Fokus aja sama rumah tangga lo. Gue bisa urus diri gue sendiri.”
“Kakak bakal tetap urusin kamu. Kamu masih tanggung jawab kakak.” Kata Raja membuat Maharani muak.
“Ijin dulu ke bini lo.”
Setelah itu Maharani berbalik ke belakang. Pergi dari hadapan Raja dan Kenala. Secara tak sengaja hampir menabrak tubuh tegap seseorang di depannya.
Dirga...
Pria dengan pakaian batik dan celana kulot hitam itu itu berdiri di depannya.
“Boleh aku ngomong sama kamu? Berdua. Sebentar. Gak sampai 15 menit.”
“Enggak. Gue lagi gak mood mau ngomong sama siapa pun hari ini. Minggir lo!”
“Ran...”
“Minggir atau mau gue tonjok muka sialan lo?!”
Dirga mengalah. Mundur,memberikan jalan pada Maharani yang berlalu meninggalkan tempat resepsi. Dari kejauhan dilihatnya punggung kecil itu bergetar dan tangan gadis itu bergerak ke arah wajah yang bisa Dirga pastikan jika Maharani sedang mengusap airmata.
Dia sedang menangis.