Seandainya tahu kenyataan lebih cepat

Setelah selesai sholat isya Raja langsung bertolak dari kos Rajawali ke rumah sang kekasih. Menghabiskan waktu selama sekitar lima belas menit untuknya sampai di kediaman mewah bak istana milik keluarga Ratu. Setelah tadi sebelum isya Ratu mengatakan jika sang ayah sudah menunggu kedatangan kekasihnya itu.

Bersamaan dengan jantungnya yang berdetak kencang, Kaisar yang kembali ke ruang tamu setelah keluar dari kamar pun mengambil posisi duduk di seberang sofa yang diduduki. Tampaknya pria itu belum sepenuhnya sadar dengan kehadiran Raja bersama mereka, karena fokus menatap layar petak di tangannya.

“Mana pacarmu. Katanya mau kesini?” tanya Kaisar tanpa melihat Ratu.

“Udah disini kok.” Ratu menoleh ke samping. Ke arah Raja yang semakin tegang di posisinya.

“Mana?” tanya Kaisar melepaskan kacamata yang bertengger dihidung bangirnya. Lantas mengangkat kepala setelah Ratu mengatakan jika sang kekasih sudah tiba.

“Assalamu'alaikum,Pak,” sapa Raja pertama kali dengan sopan. Memunculkan keriput di kening Kaisar yang tampak bingung.

“Waalaikumsalam. Ada Raja ternyata.” Kaisar menjawab salam Raja. “Ada apa kemari, Raja? Mau pamit,ya?”

Pertanyaan sederhana yang dilontarkan Kaisar saja rasanya benar-benar membuat Raja ketar-ketir untuk menjawab. Tangannya mendingin seraya meremas kain celananya.

“Saya kesini ingin—” Perkataan Raja langsung terpotong oleh Ratu.

“Mas Raja pacaran sama Ratu,Pi.” Celetuk mulut Ratu enteng.

Dua pasang mata itu pun langsung menoleh pada Ratu saat dia selesai berucap dengan santainya. Tidak tahu saja jika nyawa Raja rasanya sudah berada di ujung tanduk. Niatnya ingin berbasa-basi dengan ayah sang kekasih sebelum memperkenalkan diri sebagai kekasih putri beliau.

“Aneh-aneh saja kamu.” Papi terkekeh. Kepalanya menggeleng merasa lucu dengan candaan sang putri. “Kok ya kamu mau sama supir,sih?”

“Ratu serius,Pi. Mas ayo bilang dong sama papi kalo kamu pacar aku.”

“Sabar,Ratu,” gumam Raja menyiapkan diri. Menyentuh lutut Ratu pelan yang terbalut celana bahan hitam. Di depan Kaisar dia melakukannya. Menyentuh Ratu di depan sang ayah.

Pandangan mata Kaisar pun beralih ke arah Raja yang tersenyum canggung di tempat duduknya. Peluh mulai terasa meluncur dari kepalanya padahal ruang tamu Ratu hawanya dingin karena AC yang menyala.

“Apa yang dikatakan Ratu benar?”

Dengan mantap Raja mengangguk. “Benar,Pak. Saya mendekati putri bapak dan menjalin hubungan dengannya.”

“Seperti tidak ada laki-laki lain saja. Supir kok kamu pacari.” Celetuk Kaisar dengan sadis.

Suasana pun mulai mendadak tegang. Kaisar meletakkan tablet yang dipegangnya di atas meja, lalu berdehem sebelum memanggil sang istri yang berada di dalam kamar. “Mami, kemari sebentar.”

Terdengar bunyi pintu yang tertutup. Sosok wanita cantik yang sudah mulai berumur pun muncul dan bergabung bersama mereka.

“Oalah, ada Raja.”

“Pacar anakmu,” seru Kaisar.

“Ha? Pacar Ratu?”

Kepala sepasang kekasih itupun mengangguk dengan kompak tanpa rencana.

“Sudah berapa lama?” tanya sang ibu.

“Hampir tiga bulan,Mi.” Itu Ratu yang menjawab.

“Orang tuamu kerja di perusahaan mana, Raja?” giliran Kaisar lagi yang bertanya.

Raja membetulkan posisi duduknya. Tetap bersikap sopan di hadapan kedua orang tua sang kekasih yang duduk berdampingan. Sebelum menjawab Raja pun tersenyum. “Orang tua saya tidak bekerja di perusahaan manapun,Pak. Orang tua saya di Solo hanya berkebun dan memiliki kedai harian kecil-kecilan. Cuma dulu orang tua saya pernah menjadi pedagang di tanah abang sebelum bangkrut.”

“Punya toko apa dulu orang tuamu di tanah abang?”

“Toko bahan tekstil,Pak.” Jawab Raja seadanya.

“Siapa nama ayahmu?”

“Ibnu Abbas Dirgantara,Pak.”

“Ibnu Abbas.. Ibnu Abbas?” Seketika itu juga bola mata Kaisar langsung membelalak kaget. “Anaknya mas Ibnu kamu? Pantas wajahmu nggak asing. Astaga…”

“Ibnu siapa,pi?” tanya sang istri. “Kayaknya papi kenal banget sama orang tua Raja.”

“Mas Ibnu,Mi. Yang punya toko tekstil di samping toko toko Uda Doni dulu. Istrinya sering nanyain resep bumbu rendang sama mami. Waktu itu mami masih hamil Ratu, kita baru pindah ke Jakarta.”

Butuh beberapa waktu bagi Wulandari untuk mengingat siapa gerangan sosok yang diceritakan sang suami padanya. Sudah hampir dua puluh tahun yang lalu soalnya jika dia sedang mengandung Ratu.

“Papi kenal sama orang tua mas Raja?” Ratu yang sejak tadi menyimak akhirnya bersuara.

“Kenal papi sama ayahnya Raja. Wajahnya mirip sekali dengan Raja cuma agak gelap dan gondrong rambutnya waktu itu. Makanya papi sebenarnya nggak asing sama wajah Raja ini. Ternyata anaknya mas Ibnu. Papi tahu kabar mas Ibnu meninggal. Tapi kan saat itu papi masih di Singapura,” jelas pria itu. “Tidak menyangka sekali papi kalau Raja ini anak teman papi juga. Astaga…”

“Saya lebih tidak menyangka jika pak Kaisar kenal dengan kedua orang tua saya,” ungkap Raja jujur masih sedikit syok.

Kaisar tertawa dan mulai menyombongkan diri. “Teman saya banyak, Raja. Relasi bisnis saya ada di mana-mana. Bukannya sombong. Tapi usaha saya sudah ada di mana-mana. Jadi, walaupun kamu dan Ratu menjalin hubungan. Apa yang bisa kamu kasih ke anak saya?”

Suasana yang tadi mulai mencair seketika menjadi tegang kembali. Kaisar menarik sebatang rokok dari dalam kotaknya, lalu membakar ujung rokok tersebut.

“Untuk saat ini saya belum bisa memberikan apa-apa pada Ratu,Pak.”

“Usiamu berapa sekarang?”

“22 tahun pak.”

“Rencanamu setelah lulus kuliah apa?” tanya Kaisar to the point.

“Insyaallah saya akan kerja di Kalimantan,Pak. Di salah satu cabang WASKITA karya.”

“Oke, saya kasih kamu target. Lima atau enam tahun kedepan kamu belum bisa jadi apa-apa. Tinggalkan Ratu. Kamu siap,Raja?”

“Papi.. ih kok gitu?!” Mendengar target yang diberikan sang ayah tentu saja membuat Ratu mengajukan penolakan. Bagaimana jika dalam waktu lima tahun Raja belum menjadi seperti apa yang ayahnya minta?

“Ratu diam. Kali ini papi akan sedikit keras sama kamu.”

“Saya siap,Pak!”

“Mas?” Ratu terkaget dan memalingkan wajah ke arah Raja.

“Lima tahun ke depan yang terparkir di depan halaman rumah saya saat kamu menemui Ratu bukan lagi motor BEAT. Minimal Pajero. Paham?”

“Maksimalnya apa,Pak?” Raja bertanya iseng. Padahal di sampingnya Ratu sudah hampir stres karena target gila sang ayah kepada kekasihnya. Tak bisa dibayangkan jika dia dan Raja harus terpisah.

“Land Cruiser kalo kamu sanggup.”

“Baik, Pak. Saya akan berusaha,” timpal Raja dengan kepercayaan diri besar. Cintanya pada dek Ratu yang membuat dia percaya diri seperti ini. “Jadi, saya diizinkan untuk menjalin hubungan dengan Ratu,pak?”

“Silahkan. Tapi jika target kamu gagal. Tinggalkan Ratu. Saya tidak akan memberikan putri saya pada laki-laki melarat.”