“Kamu udah bangun?”

Laki-laki itu bertanya saat melihat Maharani mencoba untuk menjangkau botol air minum di atas meja samping kasurnya. Memberikan ke tangan gadis yang hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi apapun padanya. Memilih duduk dipinggir kasur yang ditempati oleh Maharani. Terus menunjukkan tatapan dalam walau tidak digubris oleh gadis di depannya yang kembali mencoba untuk berbaring.

Rindu serindunya Dirga pada gadis ya g menarik selimutnya untuk kembali mencoba tidur. Tak mengeluarkan suara apapun, bahkan lebih parahnya lagi seperti tak menganggap kehadiran Dirga yang diam mematung dengan hati yang terasa sesak.

“Maharani, boleh aku ngomong?” Dirga bertanya sambil memegang bahu gadis yang memunggunginya saat ini. Tengah memejamkan mata dan tak berniat untuk merespon Dirga.

Berpura-pura tidur adalah solusi yang tepat untuk menghindari obrolan bersama Dirga untuk sekarang. Rasanya memang masih sulit untuk berdamai dengan keadaan. Melihat Dirga hanya akan membuatnya kesal sekaligus sedih.

“Kalo kamu nggak mau ngomong sama aku nggak masalah. Nggak mau liat muka aku juga nggak masalah. Yang penting kamu dengerin aja apa yang bakal aku bilang,” seloroh Dirga dengan senyum tapi terpaksa. Dan tangannya pun masih mengusap lengan Maharani dengan lembut.

“Sebelumnya aku bakal tetap minta maaf sama kamu. Aku tahu kalo aku bener-bener berengsek. Nggak peduli kamu mau maafin aku atau nggak. Di sini aku cuma mau bilang kalo aku nggak akan pernah tinggalin kamu. Aku bakal tunggu kamu sampai bisa maafin aku sepenuhnya. Aku bakal anggap ini semua adalah hukuman buat aku. Nahan rindu ke kamu adalah hukuman terberat buat aku saat ini,” jelas Dirga dengan suara lembutnya. Beberapa kali juga dia terdengar menarik nafas dalam dan menghembuskan secara kasar.

“Aku nggak akan pergi dari hidup kamu. Aku bakal tetap bertahan sampai kamu nyuruh aku buat pergi. Kata putus itu nggak berarti apa-apa buat aku. Aku cuma maunya ka—”

“Silahkan pergi,” cela Maharani lirih tanpa menoleh sama sekali ke arah Dirga. “Silahkan pergi sejauh mungkin,Dirga. Kita akhiri aja semuanya,” jeda gadis itu menyeka bulir liquid bening diam-diam tanpa sepengetahuan pria yang duduk mematung di belakangnya. “Hubungan kita memang udah berakhir sejak lo berhubungan lagi dengan Nala. Jadi tolong lo pergi aja, Ga! Jangan pernah ganggu gue.”

“Ran...”

“Pergi anjing! Lo tuli,hah?!”

Puncak amarah gadis itu tak lagi bisa ia bendung di depan sang mantan kekasih. Pertahanannya runtuh. Airmatanya pun akhirnya mengalir tepat dihadapan pria yang menyakitinya.

Rasa sesak yang menggerogoti dadanya selama ini pun tak mampu lagi ia tahan. Maharani menangis kencang menutup wajahnya. Terisak pilu memanggil ayahnya. Tubuh kecil itu bergetar hebat di dalam selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Suara isakan pilu sakitnya hati Maharani kian terdengar nyaring di dalam kamar rawat inap itu. Menjadi tontonan beberapa orang sampai Dirga akhirnya mengunci pintu kamar tersebut.

“A-ayah,” isaknya mulai meringkuk di atas kasur tersebut.

Semakin Dirga mencoba untuk memegangnya. Maka Maharani akan menangis semakin kencang. Memukul dadanya berulang kali agar rasa sesak itu menghilang dari dalam sana.

Selama hampir tiga tahun mereka bersama. Tepatnya pada hari ini Dirga benar-benar melihat sisi rapuhnya seorang Maharani. Dan itu semua karena ulahnya. Karena kelakuannya yang mungkin tak akan bisa dimaafkan dengan mudah.

“Maafin aku... maafin aku, Maharani.”

Sekeras apapun gadis itu mencoba untuk mengusirnya sekarang. Selangkah pun Dirga tidak akan berniat berjalan ke arah pintu dan meninggalkannya seorang diri.

Pria itu malah semakin mendekati mantan kekasihnya. Memeluk tubuh yang lebih kecil itu walaupun berulang kali dia mendapatkan pukulan di wajah dan dadanya akibat kemarahan gadis itu. Bahkan jarum infus di atas punggung tangan Maharani sampai tercabut akibat dia ingin memberontak saat Dirga menariknya untuk duduk dan memeluknya dengan erat.

Sejak awal Dirga mengatakan jika dia tidak akan pergi. Persetan jika Maharani sekalipun yang memintanya untuk pergi. Dia akan tetap bertahan. Karena gadis itu adalah rumahnya.